dibayar tiap klik

Selasa, 10 Januari 2012

Potret Buram Fungsi Legislasi


Potret Buram Fungsi Legislasi
Saldi Isra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA DAN DIREKTUR PUSAT STUDI KONSTITUSI (PUSAKO) FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS, PADANG
Sumber : SINDO, 29 Desember 2011
Pergantian tahun merupakan salah satu waktu yang tepat untuk melakukan perenungan atau refleksi atas capaian yang diraih sepanjang satu tahun terakhir. Sekiranya refleksi dilakukan secara jujur, segala bentuk kekurangan yang dilakukan berpotensi menjadi dorongan dalam menatap tahun baru yang segera menyapa.

Sementara itu,jika perjalanan selama satu tahun yang akan ditinggalkan berada pada neraca positif, capaian menggembirakan tersebut harus tetap dipertahankan agar tidak terjadi penurunan sepanjang tahun mendatang. Apabila refleksi akhir tahun diletakkan dalam koteks penyelenggaraan pemerintahan, sejauh ini perenungan paling umum yang sering dilakukan adalah potret pencapaian bidang penegakan hukum.

Sengaja keluar dari perenungan umum itu,capaian proses pembentukan undang-undang (fungsi legislasi) tahun 2011 sengaja dipilih menjadi sasaran refleksi karena banyaknya kritik yang dialamatkan pada hasil kerja bareng Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah ini.Bahkan,banyak kalangan menilai hasil proses legislasi hari demi hari hadir bak sebuah potret buram. Bagi mereka yang concern terhadap fungsi legislasi, setidaknya ada dua kriteria yang digunakan dalam penilaian.

Kriteria pertama, jumlah UU yang dapat diselesaikan dalam satu tahun. Meskipun secara kuantitatif UU yang dihasilkan tahun 2011 ini lebih banyak (24 UU) dibandingkan tahun 2010 (16), jumlah tersebut jauh dari target program legislasi nasional.

Selain itu, secara kualitatif, banyak UU hadir dengan kualitas yang kurang memadai. Bahkan,Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menambah proses keterlibatan publik menjadi faktor lain untuk menilai kinerja legislasi.

Kehilangan Fokus

Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dari ketiganya, fungsi legislasi dan fungsi anggaran seperti berebut mendapatkan panggung. Bahkan banyak pengalaman, penggunaan fungsi pengawasan jauh lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan fungsi legislasi. Setidaknya penguatan panggung fungsi pengawasan dapat dilacak dari pengalaman Komisi III.

Sejauh ini,Komisi Hukum DPR ini begitu dominan memanggil lembaga penegak hukum dengan menggunakan jubah rapat dengar pendapat (RDP). Sejauh yang bisa dilacak, upaya itu dilakukan apabila langkah penegakan hukum berpotensi merugikan kekuatan di DPR. Banyak pihak khawatir, instrumen RDP lebih banyak digunakan untuk membelokkan bekerjanya proses hukum.

Contohnya, bagaimana Komisi III “meneror”KPK ketika hendak mendalami indikasi mafia anggaran di DPR. Tidak hanya itu, hilangnya fokus pada fungsi legislasi juga disebabkan menguatnya fungsi lain yang tidak diatur dalam UUD 1945, yaitu fungsi pengisian jabatan publik.

Sekali lagi, dengan mengambil contoh Komisi III,Komisi Hukum DPR ini menjadi alat kelengkapan DPR yang paling banyak terlibat dalam melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).Karena bergesernya fokus tersebut, fungsi legislasi menjadi semacam tugas sekunder DPR. Celakanya, ketika DPR melakukan fungsi legislasi, banyak UU hadir dengan kualitas seadanya.

Tiga Contoh

Potret buram fungsi legislasi sepanjang tahun 2011, setidaknya dapat dilacak dari substansi revisi UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana diketahui, revisi UU No 24/2003 (yaitu UU No 8/2011), sejumlah substansinya bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, alasan pembentuk UU yang menyatakan sebagian substansi UU No 24/2003 tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan kenegaraan terbukti hanya penilaian sepihak.

Setidaknya, hal itu dapat dibaca dalam Putusan MK No 49/PUUIX/ 2011 yang menyatakan sejumlah pasal hasil perubahan bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya,Pasal 57 Ayat (2a) UU No 8/2011 yang intinya dapat diartikan membatasi dan melarang MK memutus melebihi petitum pemohon. Padahal, praktik di MK, memutus lebih dari yang dimohonkan secara eksplisit adalah cara memberikan tafsir konstitusional atas norma dalam UU.

Bahkan, penggantian hakim konstitusi mengikuti pola pergantian antar waktu anggota DPR menjadi bukti lain betapa kuatnya logika politik dalam menyusun UU. Dominasi itu juga dapat dilacak dari Pasal 27A Ayat (2) huruf c dan d UU No 8/2011 yang menempatkan unsur pemerintah dan DPR sebagai anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

Selanjutnya,UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No 10/2004. Bagi akademisi hukum terutama yang menekuni ilmu perundang-undangan, substansi UU No 12/2011 memicu perdebatan baru terutama terkait masuknya Ketetapan (Tap) MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan.

Namun demikian, sebagai peraturan yang berada di bawah UUD 1945, UU No 12/2011 tidak menjelaskan materi dan muatan Tap MPR. Pertanyaannya, mengapa UU No 12/2011 memasukkan Tap MPR menjadi bagian dari jenis dan hierarki perundangundangan? Barangkali, alasan hadirnya jenis dan “hierarki baru” ini untuk menampung sejumlah Tap MPR yang tersisa.

Sekiranya hal itu yang menjadi basis argumentasi, pembentuk UU tidak perlu memasukan Tap MPR. Secara konstitusional, Tap MPR yang tersisa telah tertampung Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.Lebih celaka, sejumlah aturan membatasi peran DPD dalam proses legislasi. Salah satu faktanya, program legislasi nasional hanya dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.

Terakhir, UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sebagai sebuah UU yang terkait langsung dengan kepentingan partai politik di DPR, sejumlah substansinya berubah drastis dari UU sebelumnya. Perubahan ini dapat dilacak dari terbukanya peluang bagi kader partai menjadi calon anggota KPU.

Banyak pihak menilai, pilihan pembentuk UU membuka ruang bagi kader partai potensial membunuh kemandirian penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945.Bahkan ada juga ancaman serius terhadap hasil kerja tim seleksi, yaitu dengan adanya ruang bagi DPR menolak calon anggota yang dihasilkan dari proses seleksi. Merujuk ketiga UU tersebut, sepanjang 2011 fungsi legislasi benar-benar menggambarkan potret buram.

Sekiranya masalah ini tidak dicegah pada 2012, fungsi legislasi berpotensi menghadirkan bencana dalam praktik ketatanegaraan kita.





Implikasi Peningkatan Keterwakilan Perempuan Bagi Pemenuhan Kepentingan Perempuan (Studi pada DPRD Provinsi DIY)



Machya Astuti Dewi[1] & Saptopo B. Ilkodar

Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, UPN"Veteran" Yogyakarta



Abstract

The percentage of representation of women in the Yogyakarta Province parliament increased in 2004 compared to 1999. It raises researchers’ scientific curiousity whether it followed by fulfillment of women’s interest. It is because in general man dominates parliament, gender bias is common, and not all women in the parliament fight for women needs. To do so the researchers observe four indicators: (1) job position of the women in the parliament; (2) policies on women resulted from the debate in the parliament; (3) acceptance of all parliament members to women’s issues; and (4) interaction of the women in the parliament with the press and feminist organizations. The researchers collected data from Yogyakarta Province Parliament documents (annual reports, meeting reports) and interviewed women parliament members. The researchers find no significant result in all indicators. This is because most women in the parliament hard to be classified as feminist, besides their capability to advocate the issue are relatively poor.



Key words: women’s interest, women representation.



Pemilu 2004 telah menorehkan peningkatan (meskipun kecil) angka keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu dari 5,1% pada pemilu tahun 1999 menjadi 9,1% (5 dari total 55 orang anggota DPRD). Peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga legislatif pantas diikuti pertanyaan apakah para anggota legislatif perempuan tersebut berhasil menyuarakan kepentingan perempuan.

Pertanyaan tersebut perlu dimunculkan karena setidaknya tiga hal. Pertama, dominasi laki-laki dalam keanggotaan lembaga legislatif merupakan fakta yang tidak bisa disangkal. Oleh karena itu, peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi DIY menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji, terutama untuk menganalisis apakah peningkatan keterwakilan perempuan diikuti dengan pemenuhan kepentingan perempuan. Kedua, keberadaan perempuan di parlemen dihadapkan pada kendala bias gender (http://www.dprd-diy.go.id., 2007). Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa parlemen adalah produk dari proses politik yang didominasi laki-laki atau eksklusif untuk laki-laki, sehingga bias laki-laki dengan segala kepentingannya sangat terlihat (Lovenduski dan Karam, 2002: 156). Ketiga, perempuan yang menjadi anggota legislatif tidak selalu memiliki perhatian pada isu-isu perempuan.

Sejauh ini, belum banyak kajian tentang apakah keterwakilan perempuan diiringi dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang selaras dengan kepentingan perempuan. Demikian pula, kajian tentang pengaruh macam apa yang dapat dilakukan perempuan di lembaga legislatif hingga kini belum banyak dilakukan, meskipun sejak akhir dekade 1990-an representasi perempuan dalam lembaga legislatif di berbagai negara cenderung meningkat sebagai hasil tuntutan para aktivis perempuan agar perempuan diberi kuota 30% di lembaga-lembaga pembuat kebijakan. Berangkat dari keinginan mengisi “ruang yang masih kosong” dalam studi gender dan politik, penelitian ini mengkaji apakah keterwakilan perempuan diikuti oleh terpenuhinya kepentingan perempuan.

Menurut Molyneux (1986: 284) kepentingan perempuan dapat dibedakan menjadi kepentingan gender “strategis” dan kepentingan gender “praktis”. Kepentingan gender strategis lahir dari analisis subordinasi perempuan dalam masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil gender. Contoh kepentingan gender strategis adalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang politik, dan kebebasan bagi perempuan untuk memiliki anak atau tidak, termasuk untuk melakukan aborsi. Tuntutan-tuntutan tersebut identik dengan feminisme.

Sementara itu, kepentingan gender praktis berangkat dari kondisi-kondisi konkret yang dialami perempuan sehari-hari. Kepentingan gender praktis tidak mempersoalkan konstruksi gender yang tidak adil, melainkan bersumber dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka sebagai perempuan, seperti masalah pemeliharaan anak, perawatan kesehatan, kebutuhan sanitasi lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.

Ada empat indikator yang biasa digunakan untuk menilai apakah keterlibatan perempuan di parlemen berdampak positif atau berpihak pada kepentingan perempuan atau tidak, yaitu: (1) apakah ada perubahan institusional/prosedural yang menghasilkan peraturan-peraturan yang lebih ramah terhadap perempuan, (2) apakah ada perubahan representasi, termasuk tindakan di parlemen yang dirancang untuk menempatkan perempuan dalam posisi penting di parlemen, (3) apakah ada perubahan terhadap keluaran (output), yaitu apakah lahir Undang-Undang atau regulasi yang mengakomodir keinginan perempuan (gender sensitive), dan (4) apakah ada perubahan wacana, sehingga menjadikan berpolitik sebagai sikap yang wajar dan membuat akses yang lebih besar bagi media dan publik kepada parlemen (Soetjipto, 2005: 60). Konsep-konsep itu pulalah yang digunakan sebagai acuan untuk mengetahui implikasi peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi DIY bagi pemenuhan kepentingan perempuan.



Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan ada atau tidaknya produk kebijakan bagi perempuan yang dihasilkan DPRD DIY, bagaimana proses pembuatan kebijakan itu berlangsung, respon apa yang berkembang di kalangan anggota laki-laki ketika muncul isu perempuan dan bagaimana anggota legislatif perempuan membangun kekuatan dengan masyarakat.

Subjek penelitian meliputi seluruh perempuan anggota DPRD DIY hasil Pemilu 2004 yang berjumlah 5 orang, yaitu Esti Wijayati, Isti’anah ZA, Tutiek Masria Widyo, Ida Fatimah, dan Itje Soraya. Satu orang anggota perempuan, yaitu Setya Sudjati tidak dijadikan subjek penelitian dengan pertimbangan ia baru duduk sebagai anggota legislatif pada pertengahan tahun 2007, sehingga pengalamannya sebagai anggota dewan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di DPRD DIY dipandang masih terlalu minim.

Pengumpulan data sekunder dilakukan sejak awal bulan Mei hingga akhir Agustus 2007. Pertama-tama, peneliti melakukan penelusuran data sekunder dari situs DPRD DIY, yaitu http://www.dprd-diy.go.id. Untuk melengkapi data sekunder yang diakses dari internet, peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang tersimpan di kantor DPRD DIY. Data yang dikumpulkan adalah Keputusan Dewan dan Peraturan Daerah DIY tahun 2004-2006, laporan hasil rapat Komisi D dan E, laporan hasil rapat Panitia Anggaran tahun 2004-2007 (DPRD DIY, 2007).

Data sekunder selanjutnya dilengkapi dengan pengumpulan data primer dalam bentuk wawancara dengan 5 orang anggota legislatif perempuan, yaitu Esti Wijayati, Isti’anah, Ida Fatimah, Tutiek Masria Widyo, dan Itje Soraya.

Semua data mentah yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut kemudian dibuat kategorisasi berdasarkan topik. Data primer dan sekunder dipilah-pilah dan dibuat kategorisasi sesuai dengan aspek-aspek yang akan dianalasis, yaitu: (1) posisi anggota legislatif perempuan di lembaga legislatif, (2) proses dan hasil akhir keputusan yang diambil DPRD menyangkut kepentingan perempuan, (3) respon atas isu perempuan di kalangan anggota legislatif laki-laki, dan (4) keterbukaan dan kerjasama anggota legislatif dengan kekuatan-kekuatan masyarakat di luar lembaga, yaitu media massa dan organisasi perempuan.

Setelah data tertata secara kategoris, langkah terakhir adalah melakukan interpretasi data hasil penelitian. Dalam proses interpretasi data, teori-teori, konsep-konsep, dan berbagai temuan dari penelitian-penelitian terdahulu turut diperhatikan sebagai panduan dalam melakukan interpretasi data.



Posisi Anggota Legislatif Perempuan

Anggota DPRD Provinsi DIY periode 2004-2009 berjumlah 55 orang. Komposisi anggota berdasarkan jenis kelamin semula terdiri dari 50 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Pada tahun 2007, komposisi ini berubah dengan bertambahnya 1 anggota perempuan dari Partai Golkar menggantikan salah seorang anggota (laki-laki) dari Partai Golkar yang meninggal dunia.

Perempuan anggota DPRD Provinsi DIY umumnya hanya menjadi anggota. Dari 6 orang perempuan anggota DPRD DIY, hanya terdapat dua orang perempuan yang menyandang jabatan. Satu orang menjadi wakil ketua Komisi D dan satu orang menjadi wakil ketua II DPRD merangkap wakil ketua II Panitia Musyawarah dan Wakil ketua II Panitia Anggaran. Secara rinci jabatan masing-masing perempuan di DPRD Provinsi DIY ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1

Jabatan Anggota Legislatif Perempuan

DPRD Provinsi DIY Periode 2004-2009





No Nama Fraksi Asal Jabatan

Partai

1. Esti Wijayati PDIP PDIP Anggota Komisi B

Anggota Panitia Anggaran



2. Tutiek Masria PAN PAN Anggota Komisi C

Widyo Anggota Panitia Anggaran



3. Ida Fatimah PKB PKB Wakil Ketua Komisi D

Anggota Panitia Musyawarah



4. Itje Soraya Persatuan PPP Anggota Komisi D

Bintang Anggota Panitia Anggaran

Demokrat



5. Isti’anah ZA PAN PAN Wakil Ketua II DPRD

Wakil Ketua II Panitia Anggaran

Wakil Ketua II Panitia Musyawarah



6. Setya Sudjati Partai Partai Anggota Panitia Anggaran

Sunarto Golkar Golkar



Sumber: Diolah dari berbagai sumber



Perbandingan dan komposisi jumlah perempuan dan laki-laki anggota DPRD Provinsi DIY pada masing-masing komisi pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2

Jumlah dan Komposisi Anggota Komisi

Pada DPRD Provinsi DIY Tahun 2007





Nama Komisi Jumlah Anggota

L P Jumlah



Komisi A (Pemerintahan) 12 - 12

Komisi B (Ekonomi dan Keuangan) 12 1 13

Komisi C (Pembangunan) 12 1 13

Komisi D (Kesejahteraan Rakyat) 11 2 13

Sumber: Diolah dari berbagai sumber



Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan anggota legislatif hanya duduk sebagai anggota komisi. Mereka tersebar di 3 komisi, yaitu Komisi B (bidang ekonomi dan keuangan), Komisi C (bidang pembangunan), dan Komisi D (bidang kesejahteraan rakyat). Di Komisi A yang membidangi pemerintahan, tidak ada satu pun anggota perempuan. Kenyataan tersebut mencerminkan masih adanya stereotip gender dalam memberikan kedudukan kepada perempuan, yaitu bahwa perempuan dianggap tidak mampu mengurusi persoalan-persoalan politik dan pemerintahan. Di Komisi B terdapat seorang perempuan. Di Komisi C terdapat 1 anggota perempuan. Sementara itu, Komisi D yang membidangi kesejahteraan rakyat diduduki 2 orang anggota perempuan. Salah satu di antaranya menjabat sebagai wakil ketua. Keberadaan 2 orang anggota perempuan di Komisi D memperlihatkan bahwa perempuan masih diidentikkan dengan persoalan-persoalan kesejahteraan sosial.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa di jajaran pimpinan DPRD hanya ada 1 orang perempuan, yaitu sebagai wakil ketua II. Di samping faktor jumlah perempuan yang lebih sedikit dibanding laki-laki, hal itu mencerminkan masih minimnya kepercayaan anggota dewan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Selain itu, realita tersebut juga berkaitan dengan kapabilitas perempuan untuk memimpin. Isti’anah yang menjabat Wakil Ketua II dan sering diminta memimpin rapat Panitia Anggaran, mengakui bahwa tidak semua anggota perempuan memiliki keberanian dan ketangguhan dalam berbicara di forum rapat (wawancara dengan Isti’anah, 28 Agustus 2007).

Namun demikian, kemampuan dan kualitas personal tidak cukup menjamin bahwa perempuan anggota legislatif akan mendapat kepercayaan untuk memimpin. Pengalaman Esti Wijayati patut disimak. Ketika DPRD Provinsi DIY terbagi dalam 5 komisi, yaitu Komisi A (bidang pemerintahan), Komisi B (bidang perekonomian), Komisi C (bidang keuangan), Komisi D (bidang pembangunan) dan Komisi E (bidang kesejahteraan rakyat), Esti Wijayati mendapat kepercayaan menjabat sebagai ketua Komisi C. Pada tahun 2007, terjadi perubahan tata tertib yang isinya merombak Komisi sehingga hanya menjadi 4, yaitu Komisi A, B, C, dan D. Setelah terjadi perombakan tersebut Esti Wijayati berada di Komisi B, namun hanya sebagai anggota. Fenomena ini mengindikasikan pemberian prioritas kepada kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin. Padahal, di kalangan anggota legislatif, Esti diakui sangat vokal dan berani dalam berbicara di berbagai forum rapat.



Kepedulian DPRD Provinsi DIY pada Kepentingan Perempuan

Para anggota legislatif perempuan DPRD DIY mengakui hingga saat ini belum apa peraturan ataupun Perda khusus yang ditujukan untuk perempuan http://www.indomedia.com/bernas/052002/21/UTAMA/21met2.hm.). Mereka beralasan bahwa mayoritas perempuan tidak mengungkapkan dengan jelas kebutuhan dan harapan mereka. Oleh karenanya, anggota legislatif perempuan seringkali merasa kesulitan menangkap apa yang sebenarnya diinginkan oleh kaum perempuan ketika mereka turun ke daerah. Sejauh ini, keinginan-keinginan yang diekspresikan oleh kaum perempuan masih terbatas pada harapan agar anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang telah mereka lakukan ditambah. Sebaliknya, hampir tidak pernah muncul keinginan atau ide-ide yang baru yang juga bermanfaat bagi kaum perempuan.

Seluruh anggota perempuan menerjemahkan kepentingan perempuan pada tataran pemenuhan kebutuhan perempuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai ibu dan istri. Contohnya adalah apa yang dilakukan Ida Fatimah, Tutiek Masria dan Esti Wijayati, yaitu memperjuangkan kesejahteraan guru-guru mengaji yang kebanyakan perempuan, subsidi untuk pesantren, pendidikan yang murah, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi perempuan, dan peningkatan pendapatan perempuan. Sedangkan, upaya-upaya untuk memperjuangkan kepentingan strategis, semisal hak politik perempuan, penghapusan pembagian kerja secara seksual, hak bagi perempuan untuk melakukan aborsi belum nampak nyata dilakukan. Kalaupun isu yang menyangkut hak politik perempuan diperhatikan, hal itu masih sebatas perjuangan individual anggota, misalnya sebagai anggota Kaukus Perempuan Parlemen dan belum menjadi isu untuk diperjuangkan di dalam rapat-rapat dewan.

Namun demikian, ketika berbicara di forum rapat komisi, seluruh anggota legislatif perempuan provinsi DIY mengakui mereka tidak pernah secara khusus mengemas usulan yang mereka sampaikan sebagai kepentingan perempuan. Mereka lebih memilih memperjuangkan kepentingan masyarakat secara umum dengan asumsi bahwa di dalam kepentingan masyarakat tersebut sudah tercakup kepentingan perempuan di dalamnya.

Ida Fatimah mempunyai alasan mengapa dalam rapat-rapat dewan tidak pernah berbicara secara khusus tentang kepentingan perempuan. Perbincangan khusus mengenai kepentingan perempuan menurut Ida akan mendapatkan reaksi yang keras dan bernada menyindir dari para anggota laki-laki. Oleh karenanya, ia memilih untuk tidak secara eksplisit berbicara tentang kepentingan perempuan (wawancara dengan Ida Fatimah, 16 Agustus 2007).

Kesengajaan untuk tidak berbicara secara khusus tentang kepentingan perempuan sebagaimana dilakukan oleh Ida Fatimah merupakan fenomena umum yang juga dilakukan oleh semua anggota legislatif perempuan, termasuk Esti Wijayati. Ia sengaja melakukan strategi memperjuangkan kepentingan perempuan dengan cara berbicara atas nama kepentingan masyarakat banyak.

Forum lain yang menjadi tempat untuk membahas agenda kepentingan perempuan adalah Rapat Panitia Anggaran. Di forum ini, para anggota legislatif perempuan senantiasa memperjuangkan agar Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) mendapatkan porsi anggaran yang besar untuk melaksanakan program-program pemberdayaan perempuan. Mereka juga mendesak agar semua dinas menyediakan anggaran untuk program perempuan.

Dukungan para anggota legislatif perempuan kepada KPP tidaklah sia-sia. Hal itu tercermin dari jumlah anggaran untuk KPP yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2004 hingga 2007 sebagaimana dapat disimak pada Tabel 3.

Tabel 3

Anggaran Kantor Pemberdayaan Perempuan DIY



Tahun Jumlah (Rp)

2004 694.660.000

2005 1.808.148.200

2006 2.476.265.000

2007 3.441.048.850

Sumber: Diolah dari Laporan Rapat Panitia Anggaran

DPRD Provinsi DIY Tahun 2004-2007



Peningkatan perhatian anggota dewan pada kepentingan perempuan juga tercermin dalam arah dan kebijakan umum APBD DIY. Sejak tahun 2005, dalam Arah dan Kebijakan Umum APBD DIY selalu disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan di bidang sosial adalah adanya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat melalui peningkatan kesadaran tentang keadilan gender melalui pemerataan, kesejahteraan, akses (informasi, posisi, sumber daya), tingkat penyadaran, tingkat partisipasi aktif dan tingkat kontrol terhadap kasus kekerasan yang menimpa perempuan, penanganan kasus kekerasan dan peningkatan peran organisasi perempuan. Berkat perhatian pada isu kekerasan terhadap perempuan ini, pada tahun 2005 terjadi peningkatan kesadaran untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 40% dari 335 kasus menjadi 469 kasus. Penanganan kasus kekerasan juga meningkat sebesar 40%. Demikian pula peran organisasi perempuan dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 15 organisasi menjadi 30 organisasi perempuan (Himpunan Perda DIY, 2005: 38).



Respon Anggota Legislatif Laki-Laki terhadap Isu Perempuan

Perjuangan anggota legislatif perempuan agar kepentingan perempuan di segala bidang diperhatikan oleh para anggota dewan bukanlah tanpa rintangan. Suara-suara bernada tidak senang dari anggota legislatif laki-laki sering terdengar manakala anggota legislatif perempuan mengajukan usul yang menyangkut kepentingaan perempuan.

Isti’anah menyatakan ia sering menerima keluhan dari KPP bahwa beberapa anggota legislatif laki-laki bersikap tidak bersahabat. Pada waktu KPP mempresentasikan program-programnya, para anggota legislatif laki-laki yang tidak setuju dengan program khusus untuk perempuan senantiasa mengejar dengan berbagai pertanyaan sehingga KPP kewalahan atau bahkan tidak mampu lagi menjawab dengan memuaskan. Isti’anah mensinyalir sikap sebagian anggota legislatif laki-laki mencecar pertanyaan semacam itu merupakan upaya untuk membatalkan anggaran program-program perempuan:

Untuk menghadapi suara-suara dan sikap bernada ketidaksukaan dari sebagian anggota legislatif laki-laki yang menolak anggaran khusus bagi program-program perempuan, para anggota legislatif perempuan mengambil strategi penguatan diri dengan bersikap kompak, bersatu, dan mendukung satu sama lain. Upaya penggalangan dukungan bahkan tidak saja berasal dari sesama anggota perempuan, tetapi juga anggota laki-laki yang peduli pada persoalan perempuan. Tutiek Masria mengemukakan bahwa sebelum rapat Panitia Anggaran dimulai anggota perempuan yang ingin menyampaikan pendapat selalu meminta dukungan dari para anggota laki-laki yang bersimpati pada gerakan perempuan. “Sebelumnya (sebelum rapat Panitia Anggaran) biasanya (mengatakan) nanti aku didukung yo? Nggak pada perempuan saja tapi juga yang laki-laki. Pak nanti dukung ya kalau aku usul. Kalau seperti itu biasanya ya didukung “ (Wawancara dengan Tutiek Masria, 16 Agustus 2007).

Anggota legislatif perempuan menyadari bahwa penggalangan dukungan dari sesama anggota perempuan dan sebagian anggota laki-laki merupakan kebutuhan mutlak yang harus dilakukan mengingat jumlah perempuan teramat sedikit dibandingkan jumlah laki-laki. Selama jumlah perempuan di lembaga legislatif masih sangat kecil, maka upaya untuk memperjuangkan kepentingan perempuan tetap masih akan menemui hambatan. Isti’anah menuturkan:



Selama ini kita sudah berusaha maksimal. Tetapi kendalanya yang kita hadapi jumlah perempuan sedikit. Ini pun yang punya power prosentasenya rendah. Ada 6 anggota. Dari 6 ini yang masuk panitia anggaran 5 (orang), sehingga di dalam memperjuangkan isu-isu perempuan kita kalah suara dari segi kuantitas. Dari segi kualitas ini dari 6 yang punya power cukup besar juga tidak banyak, mungkin hanya 50% (Wawancara dengan Isti’anah, Agustus 2007).



Persoalan kualitas personal anggota legislatif perempuan dalam menyampaikan usulan menjadi faktor penting yang menentukan apakah anggota laki-laki akan mendukung usulan anggota perempuan atau tidak. Ida Fatimah mengemukakan bahwa respon anggota laki-laki terhadap usulan yang disampaikan anggota perempuan sangat tergantung pada kualitas bagaimana anggota perempuan menyampaikan argumen (Wawancara dengan Ida Fatimah, 16 Agustus 2007).

Saat ini, perlahan-lahan isu perempuan mulai mendapatkan perhatian dari anggota legislatif. Hal itu dibuktikan dengan persetujuan anggaran untuk Kantor Pemberdayaan Perempuan yang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (lihat Tabel 3), termasuk anggaran untuk program-program pendampingan yang berkaitan dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Terlebih lagi, pada tahun 2007 semakin banyak anggota legislatif laki-laki memahami kepentingan perempuan.

Isti’anah membenarkan bahwa saat ini semakin banyak anggota legislatif laki-laki yang peduli pada kepentingan perempuan. Beberapa anggota laki-laki yang dulu selalu menolak usulan untuk program khusus perempuan kini mulai berubah sikap. Bahkan kini mulai banyak anggota laki-laki yang di dalam forum menyampaikan dukungan bagi persoalan-persoalan perempuan (Wawancara dengan Isti’anah, 28 Agustus 2007).

Salah satu bentuk dukungan tersebut berupa ide perlunya peraturan daerah (Perda) yang secara khusus mengatur kepentingan perempuan. Salah seorang anggota DPRD bernama Nur Ahmad Affandi mengemukakan bahwa hingga kini belum ada peraturan daerah (Perda) yang khusus mengakomodasi dan mengatur kepentingan perempuan. Menurut Nur Ahmad Afandi, hal itu merupakan satu kelemahan. Ia menilai kedudukan perempuan dalam ekonomi dan politik sangat strategis, sehingga diperlukan suatu skema pelayanan khusus bagi perempuan, seperti kemudahan pendidikan, kemudahan mengakses modal dan teknologi. Menurut Nur, semua itu semestinya dapat diatur dengan Perda sesuai dengan kewenangan daerah.

Pendapat senada dikemukakan Afnan Hadikusumo. Menurutnya, regulasi tentang pengarusutamaan gender di provinsi DIY lebih penting dibandingkan persoalan peningkatan anggaran untuk program-program perempuan. Regulasi tersebut sangat penting untuk mengatur hak, kewajiban, dan kepentingan-kepentingan antara masyarakat, terutama kaum perempuan dengan pemerintah. Saat ini, anggota dewan, terutama perempuan, masih kesulitan dalam mengadvokasi persoalan-persoalan diskriminasi gender, mengingat di DIY belum ada regulasi yang mengatur hal itu. Menurut Afnan, sudah waktunya diterbitkan peraturan daerah tentang pengarusutamaan gender yang penyusunannya melibatkan pemerintah, anggota dewan, LSM, praktisi hukum, perguruan tinggi, dan media massa.

Pendapat Nur Ahmad Affandi dan Afnan Hadikusumo tentang perlunya Perda yang dapat mengakomodir kepentingan perempuan menunjukkan adanya perhatian anggota legislatif laki-laki terhadap persolan perempuan. Isti’anah dan Ida Fatimah mengakui bahwa Nur Ahmad dan Afnan sangat berpihak kepada perempuan dan memiliki kepedulian yang besar pada upaya pemberdayaan perempuan.[2] Pernyataan Nur Ahmad dan Afnan merupakan bukti kekritisan mereka dalam melihat persoalan perempuan, sebuah pandangan yang semestinya disampaikan oleh anggota legislatif perempuan, tetapi justru dikemukakan oleh laki-laki.

Namun demikian, anggota legislatif laki-laki yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan juga masih ditemui. Setiap kali Panitia Anggaran melakukan rapat penyusunan anggaran untuk KPP, mereka selalu mencecar dengan berbagai pertanyaan yang tujuannya agar program yang dipresentasikan KPP batal dilakukan (Wawancara dengan Isti’anah, 28 Agustus 2007 ).





Akses dan Kerjasama dengan Media Massa dan Organisasi Perempuan

Media massa merupakan salah satu sarana bagi anggota legislatif perempuan untuk menggalang kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Melalui media massa, anggota legislatif dapat berwacana untuk membentuk opini publik.

Beberapa anggota dewan yang peduli pada persoalan perempuan dikenal sangat akrab dengan media massa. Mereka antara lain adalah Isti’anah, Esti Wijayati, Nur Achmad Affandi dan Afnan Hadikusumo. Mereka sering ditemui oleh media massa untuk diminta komentar dan pendapat mengenai isu perempuan. Media massa biasanya memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu yang berkaitan dengan persoalan perempuan ketika melakukan peliputan dan wawancara. Momentum yang biasanya dimanfaatkan media massa untuk melakukan peliputan dan wawancara adalah Hari Perempuan, Hari Ibu, Hari Kartini, saat ada audiensi di DPRD yang membawa persoalan-persoalan perempuan, saat komisi terkait terjun ke lapangan kemudian menemukan kasus, atau pada saat penyusunan anggaran untuk dinas-dinas pemerintah.

Sebagai anggota legislatif perempuan, Isti’anah dengan sadar memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk mengkritik Pemerintah DIY yang dinilainya tidak serius menangani persoalan gender. Dalam komentar di sebuah surat kabar, Isti’anah menyesalkan tidak adanya progress report dalam LKPJ Gubernur DIY tahun 2007 (http://www.bapeda.pemda-diy.go.id Diakses tanggal 4 Agustus 2007). Padahal, DPRD telah menyepakati bahwa bidang pemberdayaan perempuan, peningkatan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan gender menjadi salah satu skala prioritas yang telah ditetapkan dan dianggarkan pada tahun 2006. Dalam strategi dan prioritas belanja juga ditekankan program pemberdayaan perempuan, serta peningkatan peran masyarakat dan kemampuan kelembagaan pengarusutamaan gender. Tidak adanya laporan, penjelasan, maupun permasalahan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan, menunjukkan ketidakpedulian Pemerintah DIY terhadap upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Isti’anah, hal ini akan mempersulit perumusan program dan kegiatan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan.

Sementara itu, anggota DPRD yang lain belum memanfaatkan media massa untuk menekan anggota-anggota legislatif agar memperhatikan kepentingan perempuan. Alasannya beragam, mulai dari ketidakmampuan, takut berlebihan, hingga takut dinilai tidak ikhlas berjuang. Esti Wijayati bahkan meragukan peran dan kemauan media massa untuk dijadikan wahana yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Hal itu berkait dengan preferensi media massa dalam memilih isu-isu dan berita-berita yang laku untuk dijual, sementara isu perempuan bukan termasuk isu yang memiliki nilai jual tinggi (Wawancara dengan Esti Wijayanti, 18 Agustus 2007).

Selain dengan kalangan media massa, anggota legislatif perempuan juga membuka diri dan bekerjasama dengan masyarakat, terutama organisasi perempuan. Meskipun demikian, jalinan kerjasama tersebut tidak terstruktur. Kerjasama antara anggota legislatif perempuan dengan organisasi perempuan berlangsung dalam bentuk kerjasama tidak langsung, yaitu melalui KPP. Isti’anah menjelaskan bahwa organisasi-organisasi perempuan sering menitipkan isu perempuan untuk diperjuangkan melalui KPP. Selanjutnya, KPP akan menghimpun usulan-usulan dan menindaklanjutinya dengan penyusunan program-program dan anggaran untuk program perempuan yang selanjutnya dibawa ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan. Selain itu, kerjasama dengan para aktivis organisasi perempuan juga dilakukan melalui forum public hearing (dengar pendapat), sebuah forum sidang DPRD yang terbuka untuk umum dan bertujuan menjaring pendapat dari berbagai elemen masyarakat.

Kerjasama yang dilakukan anggota legilatif perempuan dengan para aktivis dari organisasi perempuan merupakan bentuk keterbukaan diri dari para anggota perempuan. Kerjasama ini juga menunjukkan arti penting organisasi perempuan di mata anggota perempuan.



Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan setidaknya empat hal. Pertama, peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPRD DIY belum sepenuhnya diikuti oleh terpenuhinya kepentingan perempuan. Kebijakan yang dihasilkan DPRD baru sebatas pada persetujuan kenaikan anggaran untuk Kantor Pemberdayaan Perempuan dari tahun ke tahun dan tuntutan agar seluruh dinas pemerintah memperhatikan pembangunan untuk kelompok perempuan. Produk kebijakan terpenting, yaitu Perda khusus untuk melindungi dan mengakomodir kepentingan perempuan sama sekali belum ada. Selain itu, mayoritas anggota legislatif perempuan tidak menempati posisi strategis sebagai pemimpin. Di antara 6 anggota perempuan, hanya 2 orang yang memegang jabatan sebagai pemimpin.

Kedua, kepentingan perempuan belum diperjuangkan secara maksimal oleh anggota legislatif perempuan di DPRD DIY. Hal ini terlihat dari sikap anggota perempuan yang cenderung menunggu masukan dan keluhan dari para konstituen perempuan dibandingkan menawarkan ide yang dapat dilakukan untuk memenuhi kepentingan perempuan. Sikap itu menunjukkan kekurangpahaman sebagian besar perempuan anggota DPRD Provinsi DIY terhadap masalah-masalah strategis yang dihadapi perempuan dikaitkan dengan tugasnya sebagai anggota legislatif. Seandainya para perempuan anggota DPRD Provinsi DIY memiliki pemahaman yang cukup, maka pertemuan dengan konstituen dapat digunakan untuk mengonfirmasikan strategi dan konsep mereka dalam memperjuangkan perempuan. Para anggota DPRD itulah yang mestinya menyusun konsep untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, dan bukan sekadar bertanya untuk menjaring ide.

Ketiga, media massa dan organisasi perempuan belum digunakan oleh anggota legislatif perempuan sebagai alat penekan dan sarana untuk mencari dukungan. Kerjasama dengan media massa lebih banyak dilakukan oleh anggota laki-laki dengan mengekspos isu perempuan di media massa. Sementara itu kerjasama dengan organisasi-organisasi perempuan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai wahana untuk menghimpun dukungan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.

Keempat, dari gagasan dan langkah yang mereka tempuh dapat dinyatakan bahwa perempuan anggota DPRD Provinsi DIY bukan tergolong feminis “garis keras”. Mereka tergolong moderat atau bahkan cenderung kurang kuat dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Hal itu bisa disebabkan oleh kurangnya kapasitas personal, bisa juga karena ketakutan mereka terhadap dominasi partai dan dominasi laki-laki.



Daftar Pustaka



Belum Ada Perda Khusus yang Akomodasi Perempuan (2007) [Diakses 1 Juni 2007].http://www.indomedia.com/bernas/052002/21/UTAMA/21met2.hm.

DPRD DIY (2007) Laporan Rapat Panitia Anggaran Tahun 2004-2007.

DPRD DIY (2005) Himpunan Peraturan Daerah DIY Tahun 2005.

“DPRD DIY Kecewa dengan Isi LKPJ, Pemberdayaan Wanita Tak Ada Progress Report” dalam http://www.bapeda.pemda-diy.go.id Diakses tanggal 4 Agustus 2007.

Lovenduski, J., Karam, A. (2002) Perempuan di Parlemen: Membuat suatu Perbedaan. Dalam: J. BALLINGTON, S. KADIRGAMAR-RAJASINGHAM (eds). Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah (Terjemahan oleh Akmal Syams), Stockholm: International IDEA.

Molyneux, M. (1986) Mobilization without Emacipation? Women’s Interest, State and Revolution. Dalam: RR. FAGEN, C.D. DEERE, J.L. CORAGGIO (eds.). Transition and Development: Problems of Third World Socialism, New York: New York Monthly Review Press.

Peranan Dewan pada Pengarusutamaan Gender di Provinsi DIY (2007) [Diakses 4 Agustus 2007]. http://www.dprd-diy.go.id.

Profil Anggota (2007) [Diakses 1 Juni 2007 ] http://www.dprd-diy.go.id .

Soetjipto, A.W. (2005) Minoritas ‘Bisu’ di Parlemen: Perempuan Parlemen di Indonesia. Dalam: A.W. Soetjipto. Politik Perempuan bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.



[1] Korespondensi: M. A. Dewi, Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Jl. Babarsari 2 Yogyakarta. Telp: (0274) 487147. E-mail: machdewi@yahoo.com.

[2] Isti’anah mengemukakan hal ini dalam wawancara tanggal 28 Agustus 2007 dan Ida Fatimah pada tanggal 16 Agustus 2007.


sumber : http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65:implikasi-peningkatan-keterwakilan-perempuan-bagi-pemenuhan-kepentingan-perempuan-studi-pada-dprd-provinsi-diy&catid=34:mkp&Itemid=62

TUGAS DAN FUNGSI ALAT KELENGKAPAN DPR

TUGAS DAN FUNGSI ALAT KELENGKAPAN DPR


Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, DPR memiliki beberapa unit-unit kerja yang biasa disebut dengan alat-alat kelengkapan. Alat-alat kelengkapan DPR tersebut ada yang bersifat tetap dan ada yang sementara. Yang dimaksud dengan tetap adalah unit kerja yang terus menerus ada selama masa kerja DPR berlangsung, yakni selama lima tahun. Keanggotannya juga tidak berubah dari awal sampai akhir, kecuali ada pemberhentian. Sedangkan yang sementara bersifat sebaliknya, hanya dibentuk untuk kebutuhan dan tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Begitu juga dengan keanggotannya, berganti-ganti untuk masa waktu sementara. Alat-alat kelengkapan lembaga ini diatur dalam Bab VI-XIV Tata Tertib DPR RI.

Alat kelengkapan tetap terdiri dari:

A. Pimpinan DPR RI;

B. Komisi dan Sub Komisi;

C. Badan Musyawarah (Bamus);

D. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT);

E. Badan Legislasi;

F. Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP);

G. Panitia Anggaran.

Sedangkan alat kelengkapan yang bersifat sementara terdiri dari:

A. Dewan Kehormatan;

B. Panitia-panitia, seperti panitia kerja (Panja) dan panitia khusus (Pansus).

Di bawah ini diuraikan beberapa alat kelengkapan DPR, tugas-tugasnya, serta model kepemimpinannya.

A. Pimpinan DPR

Kedudukan Pimpinan dalam Dewan bisa dikatakan sebagai Juru Bicara Parlemen. Fungsi pokoknya secara umum adalah mewakili DPR secara simbolis dalam berhubungan dengan lembaga eksekutif, lembaga-lembaga tinggi negara lain, dan lembaga-lembaga internasional, serta memimpin jalannya administratif kelembagaan secara umum, termasuk memimpin rapat-rapat paripurna dan menetapkan sanksi atau rehabilitasi.

Untuk melaksanakan fungsi tersebut, Pimpinan memiliki tugas-tugas yang bisa dibagi ke dalam tiga kategori. Tugas di lingkungan internal pimpinan, tugas di lingkungan internal DPR, dan tugas di lingkungan eksternal DPR.

- Tugas di lingkungan internal Pimpinan adalah:

Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara Ketua dan Wakil Ketua, serta mengumumkannya kepada Rapat Paripurna;
Mengadakan Rapat Pimpinan DPR sekurang-kurangnya sekali sebulan dalam rangka melaksanakan tugasnya;

- Tugas di lingkungan Internal DPR:

a. Menentukan kebijaksanaan Alat Kelengkapan DPR RI;

b. Memimpin rapat DPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib serta menyimpulkan persoalan yang dibicarakan dalam rapat;

c. Mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi apabila dipandang perlu, dalam mengawasi pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh Badan Urusan Rumah Tangga; dan

d. Menetapkan sanksi atau rehabilitasi kepada Anggota Dewan yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik.

- Tugas di lingkungan eksternal DPR:

Mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya setiap waktu diperlukan;
Memberi pertimbangan atas nama DPR terhadap sesuatu masalah atau pencalonan orang untuk jabatan tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertimbangan itu diberikan setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi dan pimpinan Komisi yang bersangkutan;
Mewakili DPR dan/atau alat kelengkapan DPR di pengadilan.

Pimpinan DPR bersifat kolektif, terdiri dari satu orang ketua dan sebanyak-banyaknya empat orang wakil ketua yang yang mencerminkan fraksi-fraksi terbesar. Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh Anggota. Lima fraksi terbesar secara tertulis mengusulkan calon Ketua dan Wakil Ketua kepada Pimpinan Sementara untuk dipilih dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna.

Model kepemimpinan semacam ini agak berbeda dengan kepemimpinan parlemen di negara-negara lain yang sama-sama menganut sistem politik multi-partai. Biasanya, seperti halnya di Filipina, selain disediakan kursi kepemimpinan dari wakil partai-partai yang menjadi mayoritas di Dewan, disediakan juga kursi kepemimpinan bagi partai minoritas. Selain untuk memberikan bukti simbolik bahwa kelompok minoritas tetap dihargai, juga untuk menjaga agar kepentingan minoritas tidak terpinggirkan dalam dinamika parlemen.

Apabila terjadi kekosongan jabatan Ketua, DPR secepatnya mengadakan pemilihan berdasarkan pertimbangan dari Badan Musyawarah. Pengisian kekosongan untuk jabatan Ketua dilakukan dengan pemilihan ulang terhadap para calon. Sedangkan kekosongan jabatan Wakil Ketua diisi oleh calon dari fraksi yang sama, untuk selanjutnya ditetapkan dalam Rapat Paripurna. Kekosongan pimpinan DPR dapat terjadi karena tiga hal; (1) Pimpinan DPR tidak lagi menjadi anggota DPR; (2) mengundurkan diri sebagai Pimpinan DPR, dan; (3) diusulkan diganti oleh fraksi yang bersangkutan.

Sebenarnya tidak ada pengaturan yang tegas menganai kekosongan jabatan pimpinan DPR ini. Argumen kajian ini didasarkan pada mekanisme pemberhentian anggota DPR dan mekanisme pengisian jabatan wakil ketua DPR RI. Dalam kasus Akbar Tanjung misalnya, yang oleh Pengadilan Negeri divonis bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, beberapa anggota di luar mengusulkan (tidak dalam forum DPR) untuk memberhentikan (sementara) Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR dengan alasan etika sampai dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap di keluarkan oleh badan peradilan. Walaupun begitu, tidak ada mekanisme yang jelas bagaimana memberhentikan seorang Ketua DPR, kecuali melaui keputusan fraksi. Bahkan rapat paripurna pun sebagai forum tertinggi sepertinya tidak bisa melakukan pemberhentian tersebut.

Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR, yakni lima tahun. Untuk mengukur akuntabilitas kinerjanya, tata tertib DPR hanya menyatakan bahwa Pimpinan DPR bertanggung jawab kepada DPR. Tidak ada forum dan mekanisme yang dinyatakan secara jelas untuk itu. Tapi, menilik pada mekanisme dasar DPR RI yang tertulis maupun yang terjadi dalam praktek selama ini, Rapat Paripurna adalah forum tertinggi yang dianggap merepresentasikan sikap dan posisi DPR secara kelembagaan, termasuk menerima laporan dan pertanggungjawaban.

B. Komisi

Komisi adalah unit kerja utama di dalam DPR. Hampir seluruh aktivitas yang berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR, substansinya dikerjakan di dalam Komisi. Pengaturan seputar Komisi terdapat dalam Pasal 33-36 Tata Tertib DPR RI.

Saat ini DPR mempunyai sembilan Komisi dengan ruang lingkup tugas dan pasangan kerja masing-masing. Secara umum tugas dan wewenang Komisi dapat dibagi dalam tiga bidang: legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Di bidang legislasi, Komisi bertugas mempersiapkan, membahas dan menyempurnakan suatu rancangan undang-undang. Sementara untuk tugas pengawasan dan anggaran, Komisi adalah motor utama kegiatan tersebut. Namun, untuk tugas pertama, yakni mempersiapkan (dalam hal ini merancang) undang-undang, belum diperolah data yang menunjukan secara jelas kalau komisi pernah mengajukan usul inisiatif.

Dari hasil pengamatan, pengisian keanggotan Komisi umumnya terkait erat dengan latar belakang keilmuan atau penguasaan anggota terhadap masalah dan substansi pokok yang digeluti oleh Komisi. Fakta ini merupakan gejala yang menarik. Jadi, bila keanggotaan fraksi punya kesamaan dalam hal kepentingan politik, Komisi punya kesamaan dalam penguasaan masalah dan keahlian.

Yang juga menarik, penentuan prioritas dan agenda pembahasan tiap rancangan undang-undang dilakukan oleh Bamus (Badan Musyarawah), yang beranggotakan wakil masing-masing Fraksi dan komisi. Walaupun begitu, Komisi dapat mengenyampingkan agenda prioritas yang telah ditetapkan oleh Bamus. Hal itu pernah terjadi misalnya ketika Bamus telah menetapkan bahwa Komisi II harus menyelesaikan RUU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun karena Komisi menganggap RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih penting, maka RUU tersebutlah yang dibahas terlebih dahulu. Namun secara kelembagaan, Komisi tidak memiliki jalur formal dalam pengambilan keputusan Bamus, walaupun anggota Komisi yang bersangkutan mungkin duduk di Bamus dalam kapasitas sebagai wakil Fraksi.

Di bidang pengawasan Komisi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN serta peraturan pelaksanaannya, serta pelaksanaan GBHN oleh eksekutif. Dalam tugas ini termasuk juga membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberikan kepada DPR setiap satu semester, serta menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pegaduan masyarakat (baik yang dilakukan secara langsung-lisan, maupun surat menyurat). Seluruh tugas dan wewenang ini terbatas pada pengawasan rutin. Sedangkan pelaksanaan pengawasan insidentil tidak hanya dilakukan oleh Komisi tapi juga melibatkan alat kelengkapan DPR lainnya.

Di bidang anggaran, Komisi bertugas melaksanakan seluruh proses pembentukan APBN sebelum disampaikan pada Rapat Paripurna DPR untuk disetujui. Proses tersebut adalah:

1. Mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan RAPBN bersama-sama dengan pemerintah;

2. Mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan RAPBN, termasuk hasil pemeriksaan BPK;

3. Mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK;

4. Menyampaikan hasil pembahasan dan penyempurnaan pembicaraan pendahuluan dan hasil pembahasan kepada Panitia Anggaran.

Dalam menetapkan susunan dan keanggotaan Komisi, DPR (dalam hal ini Rapat Paripurna) melakukannya berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada setiap permulaan Tahun Sidang. Kecuali pada permulaan Tahun Sidang terakhir dari masa keanggotaan DPR. Proses pengisian keanggotaan dilakukan oleh fraksi-fraksi dengan mengajukannya kepada Pimpinan DPR.

Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya tiap Komisi membentuk Sub-komisi. Setiap anggota DPR, kecuali pimpinan, harus menjadi anggota salah satu Komisi. Setiap anggota komisi, kecuali Ketua Komisi, harus menjadi anggota salah satu Sub-komisi Sehingga dengan begitu tidak mungkin ada anggota DPR yang tidak punya beban tugas apapun, karena semua habis dibagi dalam Komisi. Yang justru mungkin adalah tugas ganda, karena ada jabatan lain yang bisa diemban dan dirangkap. Misalnya, selain menjadi anggota Komisi dia juga merangkap menjadi anggota Badan Legislasi, anggota Bamus atau anggota alat kelengkapan lainnya.

Pimpinan Komisi, sama halnya dengan Pimpinan DPR, juga bersifat kolektif. Komposisinya terdiri dari seorang Ketua dan tiga orang Wakil yang dipilih dari dan oleh anggota Komisi. Pemilihan pimpinan dilakukan setelah penetapan susunan dan keanggotaan Komisi, dalam Rapat Komisi yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, Komisi dapat:

Mengadakan: (i) Rapat Kerja (Raker) dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; (ii) Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya; (iii) Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), baik atas permintaan Komisi maupun atas permintaan pihak lain; (iv) apabila perlu dan atas persetujuan Pimpinan DPR, Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi yang bersangkutan, dan (v) Rapat Gabungan Komisi apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari satu Komisi.
Mengadakan kunjungan kerja dalam masa reses, atau apabila dipandang perlu dalam Masa Sidang dengan persetujuan Pimpinan DPR. Hasilnya dilaporkan kepada Bamus untuk ditentukan tindak lanjutnya.
Pada akhir masa keanggotaan DPR, membuat inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh Komisi pada masa keanggotaan berikutnya.

C. Badan Musyawarah (Bamus)

Dalam dinamika politik DPR, Bamus adalah miniatur DPR. Sebagian besar, kalau bukan semua, keputusan penting DPR digodok terlebih dahulu di Bamus. Sehingga bisa dikatakan dinamika yang terjadi di dalam Bamus akan tercermin di dalam Rapat Paripurna. Dan, hanya Rapat Paripurna sebagai forum tertinggi di DPR yang dapat mengubah putusan Bamus. Pengaturan tentang Bamus terdapat dalam Pasal 28-29 Tata Tertib DPR.

Tugas-tugas Bamus di bawah ini akan menunjukkan perannya yang sangat sentral dalam menentukan arah dan kinerja DPR, termasuk fungsi legislasi dan pengawasan:

a. Menetapkan acara DPR untuk satu tahun sidang, satu masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa persidangan. Termasuk di dalamnya perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, serta jangka waktu penyelesaian (juga prioritas) sebuah rancangan undang-undang.

b. Memberikan pendapat kepada Pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR.

c. Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas tiap-tiap alat kelengkapan tersebut.

Pembentukan Bamus sendiri dilakukan oleh DPR melalui Rapat Paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR. Anggota Bamus berjumlah sebanyak-banyaknya seperlima dari anggota DPR, berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Bamus langsung dipegang oleh Pimpinan DPR, yang semakin mencerminkan bahwa Bamus adalah "inti DPR".

D. Badan Legislasi (Baleg)

Badan legislasi (Baleg) merupakan alat kelengkapan DPR yang lahir pasca Amandemen Pertama UUD 1999, dan dibentuk pada 2000. Fungsi utama Baleg pada awalnya lebih dititikberatkan pada proses administrasi dan teknis legislasi. Sedikit sekali peranannya dalam mempengaruhi substansi sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU). Namun sejak perubahan Tata tertib DPR tahun 2001 yang mulai berlaku pada 2002, fungsi Baleg menjadi lebih berbobot serta cukup memadai untuk mempengaruhi substansi sebuah RUU. Pengaturan tentang Baleg terdapat dalam Pasal 38 - 41 Tata Tertib DPR.

Tugas pokok Baleg adalah:

Merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan Rancangan Undang-Undang untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap tahun anggaran;
Menyiapkan usul Rancangan Undang-Undang inisiatif DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan oleh Bamus;
Memroses lebih lanjut, membantu usul inisiatif dari anggota DPR, Komisi, Gabungan Komisi;
Melakukan pembahasan, perubahan/penyempurnaan Rancanga Undang-Undang yang secara khusus ditugaskan kepada Badan Legislasi;
Melakukan evaluasi dan penyempurnaan tata tertib DPR dan kode etik anggota DPR;
Membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR.

Badan Legislasi dibentuk DPR dalam Rapat paripurna, dan susunan keanggotaannya ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Keanggotaan Badan Legislasi tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi, keanggotaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), dan keanggotaan Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP).

Pimpinan Badan Legislasi juga bersifat kolektif. Terdiri dari seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi dalam Rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Legislasi dapat:

Mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan pihak pemerintah atau pihak lain yang dianggap perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui Pimpinan DPR;
Memberikan rekomendasi kepada Badan Musyawarah (Bamus) dan Komisi yang terkait mengenai penyusunan program dan urutan prioritas pembahasan rancangan undang-undang untuk satu masa keanggotaan DPR dan setiap Tahun Anggaran;
Memberikan rekomendasi kepada Bamus dan/atau Komisi yang terkait berdasarkan hasil pemantauan terhadap materi undang-undang;
Mengadakan kunjungan kerja dan/atau studi banding dengan persetujuan Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan kepada Rapat Badan Legislasi;
Membentuk Panitia Kerja;
Mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.

E. Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)

Sesuai dengan namanya, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR adalah unit kerja dewan yang fungsinya hanya berkaitan dengan hal-hal internal Dewan, dan hampir tidak ada kaitan langsung dengan fungsi-fungsi pokok DPR. Walaupun begitu, unit kerja ini menjadi tulang punggung para anggota DPR dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan fasilitas dan kesejahteraan mereka. Pengaturan tentang BURT terdapat dalam Pasal 43-45 Tata Tertib DPR.

Alat kelengkapan yang bekerja erat dengan BURT adalah Pimpinan DPR. Bahkan secara khusus dinyatakan bahwa tugas BURT adalah membantu Pimpinan dalam hal:

Penentuan kebijaksanaan kerumahtanggaan DPR, termasuk kesejahteraan anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal, yang didasarkan pada hasil Rapat Bamus;
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretariat Jenderal, baik atas penugasan oleh Pimpinan DPR dan/atau Bamus, maupun atas prakarsa sendiri;
Perencanaan dan penyusunan kebijakan Anggaran DPR.

Jadwal penetapan keanggotan Badan Urusan Rumah Tangga, yang dibarengi susunan keanggotaan BURT, ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Keanggotaan BURT tidak dapat dirangkap dengan keanggotaan Pimpinan Komisi, keanggotaan Badan Legislasi, dan keanggotaan Badan Kerja Sama Antar Parlemen.

Pimpinan BURT juga bersifat kolektif, terdiri dari seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua. Pimpinan BURT dipilih dari dan oleh anggota BURT setelah penetapan keanggotaan BURT, yang dilakukan dalam Rapat BURT yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

Dalam pelaksanaan kerjanya, BURT bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR. Pertanggungjawaban tersebut dilaksanakan melalui laporan tertulis sekurang-kurangnya sekali dalam satu Tahun Sidang.

F. Panitia Anggaran

Tugas pokok Panitia Anggaran adalah melaksanakan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Susunan keanggotaan Panitia Anggaran ditetapkan pada permulaan masa keanggotaan DPR. Susunan keanggotaan Panitia Anggaran terdiri atas anggota-anggota seluruh unsur Komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota Fraksi. Anggota Panitia Anggaran tidak boleh dirangkap oleh Pimpinan Komisi.

Pimpinan Panitia Anggaran bersifat kolektif. Pimpinan Panitia Anggaran terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua. Mereka dipilih dari dan oleh anggota Panitia Anggaran setelah penetapan keanggotaan Panitia Anggaran, dalam Rapat Panitia Anggaran yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

G. Dewan Kehormatan (DK)

Dewan Kehormatan (DK) adalah alat kelengkapan paling muda saat ini di DPR. DK merupakan salah satu alat kelengkapan yang bersifat sementara. Pembentukan DK di DPR merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian anggota dewan yang buruk. Misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan konflik kepentingan.

Beberapa kasus pelanggaran kode etik oleh anggota DPR juga sempat memunculkan desakan agar DK segera dibentuk. Misalnya dalam kasus suap yang diduga melibatkan anggota Komisi IX DPR untuk melancarkan divestasi Bank Niaga oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Demikian juga ketika muncul indikasi keengganan sebagian anggota DPR untuk menyerahkan formulir daftar kekayaan yang diserahkan oleh Komisi Penyelidik Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).

Pengaturan mengenai Dewan Kehormatan (DK) terdapat dalam Pasal 56-59 Tatib DPR. Susunan keanggotaan Dewan Kehormatan ditetapkan oleh Rapat Paripurna. Keanggotaan Dewan Kehormatan terdiri atas unsur Pimpinan DPR dan beberapa anggota dari tiap-tiap Fraksi. Pimpinan Dewan Kehormatan terdiri dari seorang Ketua dan dua orang Wakil Ketua. Berbeda dengan unit kerja yang lain, Ketua Dewan Kehormatan langsung dijabat oleh unsur Pimpinan DPR. Sedangkan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota Dewan Kehormatan.

Tugas Dewan Kehormatan antara lain:

Melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR. Dasar untuk menilai pelanggaran tersebut adalah:

Ø persyaratan untuk menjadi Anggota DPR RI;

Ø sumpah/janji sebagai wakil rakyat;

Ø larangan melakukan pekerjaan/usaha yang biayanya berasal dari APBN dan/atau APBD, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; dan,

Ø Kode Etik DPR.

Memberikan laporan mengenai perkembangan penelitian terhadap adanya dugaan pelanggaran Anggota DPR kepada Pimpinan DPR;
Memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada Pimpinan DPR sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi nama baik Anggota.

Rapat-rapat Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Dewan Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada Pimpinan DPR.

Untuk melaksanakan tugas-tugasnya Dewan Kehormatan diberi wewenang untuk:

a. Memanggil Anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan;

b. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain.

Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Dewan Kehormatan adalah sebagai berikut:

Pengaduan/pelaporan tentang dugaan adanya pelanggaran diajukan secara tertulis kepada Pimpinan DPR. Pimpinan DPR dapat mengesampingkan pengaduan/pelaporan yang tidak disertai identitas pelapor yang jelas;
Pimpinan DPR menyampaikan pengaduan/pelaporan kepada Bamus untuk ditindaklanjuti;
Rapat Bamus memutuskan meneruskan atau tidak meneruskan proses pelaporan tersebut. Apabila keputusannya adalah meneruskan proses pengaduan/pelaporan itu, maka Bamus mengusulkan kepada Rapat Paripurna untuk membentuk Dewan Kehormatan;
Dewan Kehormatan kemudian melakukan penelitian dan pemeriksaan laporan tersebut, berdasarkan ketentuan peraturan tata tertib DPR;
Ada dua jenis Putusan Dewan Kehormatan: (a) menolak atau menyatakan pengaduan/pelaporan tidak dapat diterima; atau (b) menerima pengaduan/pelaporan dan memutuskan rekomendasi sanksi kepada Pimpinan DPR;
Pimpinan DPR menetapkan sanksi atau rehabilitasi terhadap anggota yang dilaporkan setelah mendengar pertimbangan dan penilaian dari DK serta pertimbangan Fraksi yang bersangkutan;
Sanksi yang diberikan dapat berupa teguran lisan atau teguran tertulis sampai dengan diberhentikan sebagai anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Sanksi berupa teguran lisan disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan. Sanksi berupa teguran tertulis, disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan dan dibagikan kepada seluruh Anggota. Sanksi berupa pemberhentian sebagai Anggota DPR, dilakukan dengan Keputusan Presiden dan disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada anggota yang bersangkutan, diumumkan dalam rapat paripurna, dan dibagikan kepada seluruh anggota. Rehabilitasi, diumumkan dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.

H. Panitia

Apabila dipandang perlu, DPR atau alat kelengkapan DPR dapat membentuk panitia yang bersifat sementara. Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus, yang merupakan alat kelengkapan DPR. Sedangkan panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja dan bukan bagian dari alat kelengkapan DPR. Pengaturan tentang Panitia-panitia terdapat dalam Pasal 61-68 Tata Tertib DPR.

a. Panitia Khusus (Pansus)

Komposisi keanggotaan Panitia Khusus (Pansus) ditetapkan oleh Rapat Paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Jumlah anggota Pansus ditetapkan oleh Rapat Paripurna sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang dan sebanyak-banyaknya 50 (lima puluh) orang.

Pimpinan Pansus bersifat kolektif, terdiri atas seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua. Proses pemilihan oleh dan dari anggota Pansus dalam sebuah Rapat Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan DPR.

Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu pula, yang ditetapkan oleh Rapat Paripurna. Namun demikian, Rapat Paripurna atau Bamus dapat memperpanjang atau memperpendek jangka waktu penugasan Pansus. Dalam tata tertib DPR Tidak ada penjelasan yang memadai tentang mekanisme yang harus dilalui Bamus untuk mengubah waktu penugasan Pansus.

Pansus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. Untuk selanjutnya Rapat Paripurna menetapkan tindakan-tindakan DPR berdasarkan hasil kerja Pansus tersebut. Untuk memper-tanggungjawaban kinerjanya Pansus memberikan laporan kepada DPR.

b. Panitia Kerja (Panja)

Secara umum Panitia Kerja (Panja) adalah unit kerja sementara yang dapat dibentuk oleh tiap alat kelengkapan DPR untuk mengefisienkan kinerjanya. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pengaturan Panja - dari pembentukan, jenis tugas, mekanisme kerja, pengisian keanggotaan, masa kerja, pertanggung-jawaban, sampai dengan pembubarannya - ditetapkan oleh alat kelengkapan yang membentuknya.

Namun ada beberapa aturan yang perlu menjadi catatan berkaitan dengan pengaturan Panja. Pertama, sedapat mungkin susunan keanggotaan Panja didasarkan pada perimbangan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi. Kedua, jumlah anggotanya separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan yang bersangkutan. Dan ketiga, Panitia Kerja dipimpin oleh salah seorang anggota pimpinan alat kelengkapan DPR.

Diposkan oleh wibiono di 19:35
sumber : http://duniapolitiku.blogspot.com/2010/06/tugas-dan-fungsi-alat-kelengkapan-dpr.html

Label: lembaga-lembaga negara

Sabtu, 07 Januari 2012

ni buat yang cari topik masalah pidana anak

PROSES PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR PADA TINGKAT PENYIDIKAN
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang penulisan
B. Tujuan penulisan

BAB II PERMASALAHAN

BAB III PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana
B. Proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan
C. hak-hak pada tersangka atau terdakwa anak

BAB IV PENUTUP
A.Kesimpulan
B. Saran



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang penulisan

Anak adalah generasi penerus bangsa. Oleh karena itu setiap anak seharusnya mendapatkan haknya untuk bermain, belajar dan bersosialisasi. Tetapi keadaannya akan menjadi berbalik apabila anak melakukan tindak pidana, seperti yang baru terjadi pada kasus 10 siswa Sekolah Dasar yang diadili oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena tertangkap sedang bermain judi lempar koin.[1]
Lalu ketika anak terkena kasus tindak pidana, bukan berarti polisi ataupun pejabat yang berwenang lainnya memperlakukan anak sama seperti orang dewasa yang melakukan tindak pidana.
Maka dari itu, diperlukan adanya peradilan khusus yang menangani masalah tindak pidana pada anak yang berbeda dari lingkungan peradilan umum. Dengan demikian, proses peradilan perkara pada anak yang melakukan tindak pidana dari sejak ditangkap, ditahan, diadili dan sampai diberikan pembinaan selanjutnya, wajib diberikan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak dan dunianya.
Oleh karena situasi dan kondisi itulah, penulis merasa prihatin dan tergugah untuk membuat makalah ini. Karena penulis merasa adanya perbedaan antara teori dan praktek dalam melaksanakan dan menjalankan hukum tersebut, khususnya kepada anak yang melakukan tindak pidana dan masih kurangnya perlindungan yang diperoleh anak yang sedang diproses karena terlibat tindak pidana.


BAB II
PERMASALAHAN


Berikut ini adalah poin-poin yang menjadi permasalahan dalam proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur yang akan dibahas pada bab pembahasan:

1. Apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab anak melakukan tindak pidana?
2. Kenapa kondisi ekonomi yang tidak mampu di jadikan sebagai faktor penyebab yang utama?
3. Apa saja syarat-syarat anak yang melakukan tindak pidana dan apa jenis tindak pidananya?
4. Bagaimana proses dari pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan?
5. Siapa saja yang terlibat dalam proses pemidanaan tersebut?
6. Lalu bagaimana penyelesaiannya?
7. Apa yang dimaksud dengan penyidikan?
8. Siapa saja yang berhak melakukan penyidikan?
9. Apa saja hak-hak pada terdakwa anak yang wajib dipenuhi?


BAB III
PEMBAHASAN


A. Faktor-faktor penyebab Anak melakukan tindak pidana
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana, bahkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNAIR pada tahun 2003 terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana di Jawa Timur sebagian besar karena kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar adalah karena kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak 74,71%. Kondisi ekonomi yang tidak mampu memang bisa membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tak terpenuhi oleh orang tuanya, tindakan yang dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di inginkannya.

Selain itu, adanya dampak negative dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak Hal yang sama juga diperoleh melalui adegan-adegan kekerasan secara visualisasi, khususnya melalui media elektronik (televisi). Melalui tingginya frekuensi tontonan adegan kekerasan akan melahirkan apa yang di sebut dengan “kultur kekerasan”. Hal ini akan menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak pidana sebagai solusi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk anak. Anak juga bisa melakukan tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang bernuansa pornografi dan pornoaksi. Sehingga dalam berbagai kasus ada anak yang sampai tega memperkosa teman sepermainannya setelah menonton film porno.

B. Proses Pemidanaan terhadap Anak di bawah umur pada tingkat penyidikan

B.1. Kategori anak yang melakukan tindak pidana dan jenis pidana yang akan dijatuhkan
Sebelum kita membahas tentang proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan lebih lanjut, kita akan ketahui terlebih dahulu kategori anak yang melakukan tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 1 angka 2 yang berbunyi :
1. Anak yang melakukan tindak pidana.
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dan mengenai batasan umur anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam pasal 4, yaitu :
1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dan di ajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetapi di ajukan ke sidang anak.

Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, anak di bawah umur yang melakukan kejahatan yang memang layak untuk diproses adalah anak yang telah berusia 8 tahun dan diproses secara khusus yang berbeda dengan penegakan hukum terhadap orang dewasa. Tetapi pada prakteknya penegakan hukum kepada anak nakal terkadang mengabaikan batas usia anak. Contohnya pada kasus Raju yang di sidang di Pengadilan Negeri Atabat Langkat, saat itu dia baru berusia 7 tahun 8 bulan.
Tegasnya, anak yang melakukan kejahatan jika dia belum berusia 8 tahun seharusnya tidak diproses secara hukum seperti anak yang telah berusia 8 tahun.
Bagi anak yang melakukan tindak pidana yang akan di ajukan ke sidang pengadilan anak harus ditangani oleh hakim yang khusus menangani perkara anak dan petugas-petugas yang khusus menangani perkara anak. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 sampai 8 Undang-Undang No.3 tahun1997 :

1. Penyidik adalah penyidik anak
2. Hakim adalah hakim anak
3. Hakim banding adalah hakim banding anak
4. Hakim kasasi adalah hakim kasasi anak

Dalam pelaksanaannya sidang pengadilan bagi anak adalah tertutup dan suasana pada sidang anak harus menimbulkan keyakinan pada anak dan orang tua bahwa hakim ingin membantu memecahkan masalah pada anak, sebagaimana yang di atur dalam pasal 6 dan pasal 8 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :

Pasal 6
Hakim, penuntut umum, penyidik dan penasehat hukum serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Pasal 8
1. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup
2. dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.
3. Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan.
4. Selain mereka yang disebutkan dalam ayat 3, orang-orang tertentu atas ijin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
5. Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali atau orang tua asuhnya.

Dalam hal jenis pidana dan berat ringannya pidana pada anak yang melakukan tindak pidana dapat dilihat pada pasal 22 sampai pasal 32 Undang-Undang No.3 tahun 1997 :

Pasal 22
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 23 ayat 3 menetapkan :
Selain pidana pokok sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.

Lalu pasal 24 ayat 1 menetapkan :
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah :

1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Pasal 26 ayat 1 menetapkan :
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

Pasal 26 ayat 2 menetapkan :
Apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka2 huruf a, melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

B.2 Proses pemidanaan pada tingkat penyidikan
Sebelum kita ketahui lebih jauh mengenai proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan, kita akan bahas terlebih dahulu mengenai pengertian penyidikan itu sendiri.
Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Dalam KUHAP sendiri dikenal ada dua macam pejabat penyidik, yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (penyidik POLRI) dan pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya adalah ketentuan yang dilanggar dari peraturan pidana yang ada di KUHP, maka penyelidikannya dilakukan oleh penyidik umum yaitu penyidik POLRI. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua (PELDA) Polisi (sekarang Ajun Inspektur dua Polisi). [2] Meskipun penyidiknya adalah penyidik dari POLRI tapi bukan berarti penyidik POLRI bisa melakukan penyidikan terhadap kasus anak nakal. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dikenal dengan adanya penyidik anak, penyidik inilah yang berwenang melakukan penyidikan. Mengenai penyidikan diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No.3 tahun 1997, yang antara lain :

Pasal 41 telah menetapkan bahwa :
1. Penyidik terhadap anak nakal, dilakukan oleh penyidik yang diterapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
2. Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
• Berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan orang dewasa.
• Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
3. Dalam hal tertentu dan dipandang perlu tugas penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibebankan kepada :
• Penyidik yang melakukan tugas penyidikan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa; atau
• Penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang.

Lalu bagaimana proses dari pemidanaan itu sendiri pada tingkat penyidikan?. Proses dari pemidanaan terhadap anak di bawah umur pada tingkat penyidikan telah diatur dalam pasal 42 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Pasal 42 menetapkan :
1. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan
2. Dalam melakukan penyidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama atau petugas kemasyarakatan lainnya.
3. Proses penyidikan terhadap perkara anak nakal wajib dirahasiakan.

Setelah melakukan penyidikan dapat dilanjutkan dengan penahanan dan penangkapan terhadap anak nakal, sebagaimana tercantum dalam pasal 43, 44 dan pasal 45 Undang-Undang No.3 tahun 1997. Menurut pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1997 tidak dicantumkan mengenai tindakan penangkapan anak, oleh karena itu dalam hal ini yang digunakan adalah KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Untuk melakukan penangkapan seorang anak, maka penyidik anak wajib memperhatikan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada yang ditangkap. Surat perintah penangkapan itu berisi tentang identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa. Apabila seorang anak nakal tertangkap tangan, maka penangkapannya tidak dilakukan dengan surat perintah dan yang melakukan penangkapan tidak harus dilakukan oleh penyidik anak. Pasal 18 ayat (2) KUHAP memerintahkan kepada penyidik bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Lamanya penangkapan anak nakal sama dengan orang dewasa yaitu paling lama satu hari (pasal 19 ayat 1 KUHAP). [3]

Pasal 43 menetapkan :
1. Penangkapan anak nakal dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP.
2. Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari.

Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan, penahanan ialah penempatan tersangka atau terdakwa ke tempat tertentu oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, Undang-Undang No.3 tahun 1997 dan KUHAP menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Menurut pasal 21 ayat 1 KUHAP, alasan penahanan adalah karena adanya kekhawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi tindak pidana. Sedangkan menurut Hukum Acara Pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan. [4]

Pasal 44 menetapkan :
1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dan ayat (3) huruf a berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang di duga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
2. Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) apabila diperlukan guna kepentigan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 10 (sepuluh) hari.
4. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada penuntut umum.
5. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
6. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu.

Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 1997 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang di duga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup kuat. Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun ke atas atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Dalam hal ini apabila anak ditangkap atau ditahan secara tidak sah (tidak memenuhih syarat yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang), maka anak atau keluarganya atau penasehat hukumnya dapat meminta pemeriksaan oleh hakim tentang sahnya penangkapan atau penahanan dalam sidang pra-peradilan. [5]

Pasal 45 menetapkan bahwa :
1. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat.
2. Alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus di nyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan.
3. Tempat penahanan anak harus di pisahkan dari tempat penahanan orang dewasa.
Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak harus tetap di penuhi.

Sesuai dengan pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 1997 dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten seperti Psikolog, Pembimbing kemasyarakatan, atau ahli lain yang diperlukan sehingga penyidik anak tidak salah dalam mengambil keputusan.
Pada pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, pelanggaran dan kelalaian atas pasal tersebut tidak diatur secara tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Sanksi yang dapat diberikan kepada penyidik anak telah diatur tetapi akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum di bidang pengadilan anak semakin menunjukkan adanya kelemahan KUHAP, terutama yang menyangkut masalah pra-peradilan.
Lalu pada pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 3 tahun 1997, penahanan anak seharusnya di tempatkan secara terpisah dari narapidana anak yang lain dan tidak boleh di gabung dengan tahanan orang dewasa, hal ini untuk mencegah akibat negative dari pengaruh narapidana anak dan orang dewasa apabila si anak belum terbukti melakukan kesalahan atau tindak pidana.

C. Hak-hak pada tersangka atau terdakwa anak
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8jtJEh72aJVwNIGhpRJ69qr-diz0AxP0GE-q_knlOeMQ_RtUF87_K-0J46agURInIKpb4brekQcOA4canbGcmkUM_WqPWplH6wjus5NjIC04HiZG253NNSLJ22-3Cqhd5-QwDjSDWhxM/s400/chiLd.jpg


Selain anak mempunyai hak untuk di lindungi, anak juga mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa, adapun hak-hak tersebut menurut KUHAP adalah :
1. Setiap anak nakal sejak saat di tangkap atau di tahan berhak mendapat bantuan hukum dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan.
2. Setiap anak nakal yang di tangkap atau di tahan berhak berhubungan langsung dengan penasehat hukumnya tanpa di dengar oleh pejabat yang berwenang.
3. Selama anak di tahan, kebutuhan jasmani, rohani dan sosial harus di penuhi.
4. Tersangka anak berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya di ajukan ke pengadilan.
5. Tersangka anak berhak untuk segera di adili oleh pengadilan.
6. Untuk mempersiapkan pembelaan tersangka, anak berhak di beritahukan dengan jelas dalam bahasa yang di mengerti olehnya.
7. Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka anak berhak untuk setiap waktu mendapat juru bahasa, apabila ia tidak paham bahasa Indonesia.
8. Dalam hal tersangka anak bisu atau tuli, ia berhak mendapatkan bantuan penerjemah orang yang pandai bergaul.
9. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasehat hukum sesuai dengan ketentuan KUHAP.
10. Tersangka atau terdakwa anak yang dikenakan penahanan berhak di beritahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa anak yang bantuannya di butuhkan oleh tersangka atau terdakwa anak.
11. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima kunjugan dari pihak yang mempunyai hubungan keluarga dengan tersangka atau terdakwa anak.
12. Tersangka atau terdakwa anak berhak secara langsung atau dengan perantara penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan keluarga.
13. Tersangka atau terdakwa anak berhak menghubungi dan menerima kunjugan rohaniawan.
14. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk di adili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
15. Tersangka atau terdakwa anak berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi guna memberikan keterangan.
16. Tersangka atau terdakwa anak tidak di bebani dengan kewajiban pembuktian.
17. Tersangka atau terdakwa anak berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 KUHAP.

Dengan di aturnya hak-hak di atas walaupun tersangka atau terdakwa masih anak-anak, petugas pemeriksaan tidak boleh menghalang-halangi penggunaannya dan sebaiknya sejak awal pemeriksaan sudah diberitahukan hak-hak tersebut.


BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan
• Faktor-faktor yang menyebabkan seoarng anak melakukan tindak pidana yang pertama adalah karena kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak harmonis (66,15%).
• Menurut Undang-Undang No.3 tahun 1997 pasal 4 : Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
• Menurut pasal 1 butir 2 KUHAP, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
• Menurut pasal 1 butir 2 KUHP penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, sedangkan penahanan adalah penempatan terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya.
• Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penyidikan paling lama adalah 20 (dua puluh) hari, untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari. Dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

B. Saran
• Bagi para pejabat kepolisian atau hakim hendaknya melihat pada umur anak yang sedang diproses, apabila anak tersebut belum mencapai umur 8 tahun sebaiknya di kembalikan kepada orang tuanya dengan di berikan sanksi untuk pihak yang di rugikan.
• Dalam melakukan proses pemidanaan anak di bawah umur, Polisi harus lebih memperhatikan lagi hak-hak yang seharusnya diterima oleh anak.
• Tidak adanya lagi ketimpangan hukum dalam proses pemidanaan anak di bawah umur.
• Dalam menangani kasus seperti ini Polisi dan Hakim harus adil dan tidak berat sebelah.


DAFTAR PUSTAKA

• Anka Sugandar Ferry SH. MH., Bahan ajar Hukum Acara Pidana, Universitas Pamulang, Tangerang, 2009.
• Lonthor Ahmad, Penegakan hukum terhadap kejahatan anak dalam perspektif Islam, www.mytahkim.worpress.com, unknown year.
• Made Sadhi Astuti, Pemidanaan terhadap anak di bawah umur 16 tahun sebagai pelaku tindak pidana oleh Hakim Pengadilan Negeri wilayah propinsi Jawa Timur, www.adln.lib.unair.ac.id, 2003.
• Panji Firmansyah Niki, Tinjauan Yuridis terhadap penerapan sanksi Pidana bagi anak di bawah umur menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997 di hubungkan dengan putusan Pengadilan Negeri Bandung vide Putusan Nomor 44/PID/B/2005/PN.BDG, www.one.indoskripsi.com, 2008.
• TvOne, www.tvone.co.id, 2009.
• WangMuba, Kenakalan Remaja dan faktor yang mempengaruhinya, www.wangmuba.com, 2009.
• Wijiatmoko SH., Proses pemidanaan terhadap anak di bawah umur menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Analisis Yuridis Putusan No. 1446/PID.B/2008/PN.JAKSEL), Universitas Pamulang, Tangerang, 2009.




Footnote:
[1] TvOne 23 Juli 2009
[2] Ferry Anka Sugandar, Bahan ajar Hukum Acara Pidana, Universitas Pamulang, Tangerang 2009, Hlm 8.
[3] Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan anak, Jakarta: Djambatan, 2007, hlm 40, Cet. 3
[4] Maidin Gultom, Perlindungan hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : 2008, PT. Refika Aditama, Anggota IKAPI, hlm 98, Cet. 1
[5] Ibid, hlm 99.
Diposkan oleh Sarah Larasati Mantovani di 03:18 http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif