dibayar tiap klik

Selasa, 10 Januari 2012






Implikasi Peningkatan Keterwakilan Perempuan Bagi Pemenuhan Kepentingan Perempuan (Studi pada DPRD Provinsi DIY)



Machya Astuti Dewi[1] & Saptopo B. Ilkodar

Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, UPN"Veteran" Yogyakarta



Abstract

The percentage of representation of women in the Yogyakarta Province parliament increased in 2004 compared to 1999. It raises researchers’ scientific curiousity whether it followed by fulfillment of women’s interest. It is because in general man dominates parliament, gender bias is common, and not all women in the parliament fight for women needs. To do so the researchers observe four indicators: (1) job position of the women in the parliament; (2) policies on women resulted from the debate in the parliament; (3) acceptance of all parliament members to women’s issues; and (4) interaction of the women in the parliament with the press and feminist organizations. The researchers collected data from Yogyakarta Province Parliament documents (annual reports, meeting reports) and interviewed women parliament members. The researchers find no significant result in all indicators. This is because most women in the parliament hard to be classified as feminist, besides their capability to advocate the issue are relatively poor.



Key words: women’s interest, women representation.



Pemilu 2004 telah menorehkan peningkatan (meskipun kecil) angka keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu dari 5,1% pada pemilu tahun 1999 menjadi 9,1% (5 dari total 55 orang anggota DPRD). Peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga legislatif pantas diikuti pertanyaan apakah para anggota legislatif perempuan tersebut berhasil menyuarakan kepentingan perempuan.

Pertanyaan tersebut perlu dimunculkan karena setidaknya tiga hal. Pertama, dominasi laki-laki dalam keanggotaan lembaga legislatif merupakan fakta yang tidak bisa disangkal. Oleh karena itu, peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi DIY menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji, terutama untuk menganalisis apakah peningkatan keterwakilan perempuan diikuti dengan pemenuhan kepentingan perempuan. Kedua, keberadaan perempuan di parlemen dihadapkan pada kendala bias gender (http://www.dprd-diy.go.id., 2007). Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa parlemen adalah produk dari proses politik yang didominasi laki-laki atau eksklusif untuk laki-laki, sehingga bias laki-laki dengan segala kepentingannya sangat terlihat (Lovenduski dan Karam, 2002: 156). Ketiga, perempuan yang menjadi anggota legislatif tidak selalu memiliki perhatian pada isu-isu perempuan.

Sejauh ini, belum banyak kajian tentang apakah keterwakilan perempuan diiringi dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang selaras dengan kepentingan perempuan. Demikian pula, kajian tentang pengaruh macam apa yang dapat dilakukan perempuan di lembaga legislatif hingga kini belum banyak dilakukan, meskipun sejak akhir dekade 1990-an representasi perempuan dalam lembaga legislatif di berbagai negara cenderung meningkat sebagai hasil tuntutan para aktivis perempuan agar perempuan diberi kuota 30% di lembaga-lembaga pembuat kebijakan. Berangkat dari keinginan mengisi “ruang yang masih kosong” dalam studi gender dan politik, penelitian ini mengkaji apakah keterwakilan perempuan diikuti oleh terpenuhinya kepentingan perempuan.

Menurut Molyneux (1986: 284) kepentingan perempuan dapat dibedakan menjadi kepentingan gender “strategis” dan kepentingan gender “praktis”. Kepentingan gender strategis lahir dari analisis subordinasi perempuan dalam masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil gender. Contoh kepentingan gender strategis adalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang politik, dan kebebasan bagi perempuan untuk memiliki anak atau tidak, termasuk untuk melakukan aborsi. Tuntutan-tuntutan tersebut identik dengan feminisme.

Sementara itu, kepentingan gender praktis berangkat dari kondisi-kondisi konkret yang dialami perempuan sehari-hari. Kepentingan gender praktis tidak mempersoalkan konstruksi gender yang tidak adil, melainkan bersumber dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka sebagai perempuan, seperti masalah pemeliharaan anak, perawatan kesehatan, kebutuhan sanitasi lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.

Ada empat indikator yang biasa digunakan untuk menilai apakah keterlibatan perempuan di parlemen berdampak positif atau berpihak pada kepentingan perempuan atau tidak, yaitu: (1) apakah ada perubahan institusional/prosedural yang menghasilkan peraturan-peraturan yang lebih ramah terhadap perempuan, (2) apakah ada perubahan representasi, termasuk tindakan di parlemen yang dirancang untuk menempatkan perempuan dalam posisi penting di parlemen, (3) apakah ada perubahan terhadap keluaran (output), yaitu apakah lahir Undang-Undang atau regulasi yang mengakomodir keinginan perempuan (gender sensitive), dan (4) apakah ada perubahan wacana, sehingga menjadikan berpolitik sebagai sikap yang wajar dan membuat akses yang lebih besar bagi media dan publik kepada parlemen (Soetjipto, 2005: 60). Konsep-konsep itu pulalah yang digunakan sebagai acuan untuk mengetahui implikasi peningkatan keterwakilan perempuan di DPRD Provinsi DIY bagi pemenuhan kepentingan perempuan.



Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan ada atau tidaknya produk kebijakan bagi perempuan yang dihasilkan DPRD DIY, bagaimana proses pembuatan kebijakan itu berlangsung, respon apa yang berkembang di kalangan anggota laki-laki ketika muncul isu perempuan dan bagaimana anggota legislatif perempuan membangun kekuatan dengan masyarakat.

Subjek penelitian meliputi seluruh perempuan anggota DPRD DIY hasil Pemilu 2004 yang berjumlah 5 orang, yaitu Esti Wijayati, Isti’anah ZA, Tutiek Masria Widyo, Ida Fatimah, dan Itje Soraya. Satu orang anggota perempuan, yaitu Setya Sudjati tidak dijadikan subjek penelitian dengan pertimbangan ia baru duduk sebagai anggota legislatif pada pertengahan tahun 2007, sehingga pengalamannya sebagai anggota dewan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di DPRD DIY dipandang masih terlalu minim.

Pengumpulan data sekunder dilakukan sejak awal bulan Mei hingga akhir Agustus 2007. Pertama-tama, peneliti melakukan penelusuran data sekunder dari situs DPRD DIY, yaitu http://www.dprd-diy.go.id. Untuk melengkapi data sekunder yang diakses dari internet, peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang tersimpan di kantor DPRD DIY. Data yang dikumpulkan adalah Keputusan Dewan dan Peraturan Daerah DIY tahun 2004-2006, laporan hasil rapat Komisi D dan E, laporan hasil rapat Panitia Anggaran tahun 2004-2007 (DPRD DIY, 2007).

Data sekunder selanjutnya dilengkapi dengan pengumpulan data primer dalam bentuk wawancara dengan 5 orang anggota legislatif perempuan, yaitu Esti Wijayati, Isti’anah, Ida Fatimah, Tutiek Masria Widyo, dan Itje Soraya.

Semua data mentah yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut kemudian dibuat kategorisasi berdasarkan topik. Data primer dan sekunder dipilah-pilah dan dibuat kategorisasi sesuai dengan aspek-aspek yang akan dianalasis, yaitu: (1) posisi anggota legislatif perempuan di lembaga legislatif, (2) proses dan hasil akhir keputusan yang diambil DPRD menyangkut kepentingan perempuan, (3) respon atas isu perempuan di kalangan anggota legislatif laki-laki, dan (4) keterbukaan dan kerjasama anggota legislatif dengan kekuatan-kekuatan masyarakat di luar lembaga, yaitu media massa dan organisasi perempuan.

Setelah data tertata secara kategoris, langkah terakhir adalah melakukan interpretasi data hasil penelitian. Dalam proses interpretasi data, teori-teori, konsep-konsep, dan berbagai temuan dari penelitian-penelitian terdahulu turut diperhatikan sebagai panduan dalam melakukan interpretasi data.



Posisi Anggota Legislatif Perempuan

Anggota DPRD Provinsi DIY periode 2004-2009 berjumlah 55 orang. Komposisi anggota berdasarkan jenis kelamin semula terdiri dari 50 orang laki-laki dan 5 orang perempuan. Pada tahun 2007, komposisi ini berubah dengan bertambahnya 1 anggota perempuan dari Partai Golkar menggantikan salah seorang anggota (laki-laki) dari Partai Golkar yang meninggal dunia.

Perempuan anggota DPRD Provinsi DIY umumnya hanya menjadi anggota. Dari 6 orang perempuan anggota DPRD DIY, hanya terdapat dua orang perempuan yang menyandang jabatan. Satu orang menjadi wakil ketua Komisi D dan satu orang menjadi wakil ketua II DPRD merangkap wakil ketua II Panitia Musyawarah dan Wakil ketua II Panitia Anggaran. Secara rinci jabatan masing-masing perempuan di DPRD Provinsi DIY ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1

Jabatan Anggota Legislatif Perempuan

DPRD Provinsi DIY Periode 2004-2009





No Nama Fraksi Asal Jabatan

Partai

1. Esti Wijayati PDIP PDIP Anggota Komisi B

Anggota Panitia Anggaran



2. Tutiek Masria PAN PAN Anggota Komisi C

Widyo Anggota Panitia Anggaran



3. Ida Fatimah PKB PKB Wakil Ketua Komisi D

Anggota Panitia Musyawarah



4. Itje Soraya Persatuan PPP Anggota Komisi D

Bintang Anggota Panitia Anggaran

Demokrat



5. Isti’anah ZA PAN PAN Wakil Ketua II DPRD

Wakil Ketua II Panitia Anggaran

Wakil Ketua II Panitia Musyawarah



6. Setya Sudjati Partai Partai Anggota Panitia Anggaran

Sunarto Golkar Golkar



Sumber: Diolah dari berbagai sumber



Perbandingan dan komposisi jumlah perempuan dan laki-laki anggota DPRD Provinsi DIY pada masing-masing komisi pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2

Jumlah dan Komposisi Anggota Komisi

Pada DPRD Provinsi DIY Tahun 2007





Nama Komisi Jumlah Anggota

L P Jumlah



Komisi A (Pemerintahan) 12 - 12

Komisi B (Ekonomi dan Keuangan) 12 1 13

Komisi C (Pembangunan) 12 1 13

Komisi D (Kesejahteraan Rakyat) 11 2 13

Sumber: Diolah dari berbagai sumber



Tabel 1 dan Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebagian besar perempuan anggota legislatif hanya duduk sebagai anggota komisi. Mereka tersebar di 3 komisi, yaitu Komisi B (bidang ekonomi dan keuangan), Komisi C (bidang pembangunan), dan Komisi D (bidang kesejahteraan rakyat). Di Komisi A yang membidangi pemerintahan, tidak ada satu pun anggota perempuan. Kenyataan tersebut mencerminkan masih adanya stereotip gender dalam memberikan kedudukan kepada perempuan, yaitu bahwa perempuan dianggap tidak mampu mengurusi persoalan-persoalan politik dan pemerintahan. Di Komisi B terdapat seorang perempuan. Di Komisi C terdapat 1 anggota perempuan. Sementara itu, Komisi D yang membidangi kesejahteraan rakyat diduduki 2 orang anggota perempuan. Salah satu di antaranya menjabat sebagai wakil ketua. Keberadaan 2 orang anggota perempuan di Komisi D memperlihatkan bahwa perempuan masih diidentikkan dengan persoalan-persoalan kesejahteraan sosial.

Tabel 1 juga menunjukkan bahwa di jajaran pimpinan DPRD hanya ada 1 orang perempuan, yaitu sebagai wakil ketua II. Di samping faktor jumlah perempuan yang lebih sedikit dibanding laki-laki, hal itu mencerminkan masih minimnya kepercayaan anggota dewan kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Selain itu, realita tersebut juga berkaitan dengan kapabilitas perempuan untuk memimpin. Isti’anah yang menjabat Wakil Ketua II dan sering diminta memimpin rapat Panitia Anggaran, mengakui bahwa tidak semua anggota perempuan memiliki keberanian dan ketangguhan dalam berbicara di forum rapat (wawancara dengan Isti’anah, 28 Agustus 2007).

Namun demikian, kemampuan dan kualitas personal tidak cukup menjamin bahwa perempuan anggota legislatif akan mendapat kepercayaan untuk memimpin. Pengalaman Esti Wijayati patut disimak. Ketika DPRD Provinsi DIY terbagi dalam 5 komisi, yaitu Komisi A (bidang pemerintahan), Komisi B (bidang perekonomian), Komisi C (bidang keuangan), Komisi D (bidang pembangunan) dan Komisi E (bidang kesejahteraan rakyat), Esti Wijayati mendapat kepercayaan menjabat sebagai ketua Komisi C. Pada tahun 2007, terjadi perubahan tata tertib yang isinya merombak Komisi sehingga hanya menjadi 4, yaitu Komisi A, B, C, dan D. Setelah terjadi perombakan tersebut Esti Wijayati berada di Komisi B, namun hanya sebagai anggota. Fenomena ini mengindikasikan pemberian prioritas kepada kaum laki-laki untuk menjadi pemimpin. Padahal, di kalangan anggota legislatif, Esti diakui sangat vokal dan berani dalam berbicara di berbagai forum rapat.



Kepedulian DPRD Provinsi DIY pada Kepentingan Perempuan

Para anggota legislatif perempuan DPRD DIY mengakui hingga saat ini belum apa peraturan ataupun Perda khusus yang ditujukan untuk perempuan http://www.indomedia.com/bernas/052002/21/UTAMA/21met2.hm.). Mereka beralasan bahwa mayoritas perempuan tidak mengungkapkan dengan jelas kebutuhan dan harapan mereka. Oleh karenanya, anggota legislatif perempuan seringkali merasa kesulitan menangkap apa yang sebenarnya diinginkan oleh kaum perempuan ketika mereka turun ke daerah. Sejauh ini, keinginan-keinginan yang diekspresikan oleh kaum perempuan masih terbatas pada harapan agar anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang telah mereka lakukan ditambah. Sebaliknya, hampir tidak pernah muncul keinginan atau ide-ide yang baru yang juga bermanfaat bagi kaum perempuan.

Seluruh anggota perempuan menerjemahkan kepentingan perempuan pada tataran pemenuhan kebutuhan perempuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai ibu dan istri. Contohnya adalah apa yang dilakukan Ida Fatimah, Tutiek Masria dan Esti Wijayati, yaitu memperjuangkan kesejahteraan guru-guru mengaji yang kebanyakan perempuan, subsidi untuk pesantren, pendidikan yang murah, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi perempuan, dan peningkatan pendapatan perempuan. Sedangkan, upaya-upaya untuk memperjuangkan kepentingan strategis, semisal hak politik perempuan, penghapusan pembagian kerja secara seksual, hak bagi perempuan untuk melakukan aborsi belum nampak nyata dilakukan. Kalaupun isu yang menyangkut hak politik perempuan diperhatikan, hal itu masih sebatas perjuangan individual anggota, misalnya sebagai anggota Kaukus Perempuan Parlemen dan belum menjadi isu untuk diperjuangkan di dalam rapat-rapat dewan.

Namun demikian, ketika berbicara di forum rapat komisi, seluruh anggota legislatif perempuan provinsi DIY mengakui mereka tidak pernah secara khusus mengemas usulan yang mereka sampaikan sebagai kepentingan perempuan. Mereka lebih memilih memperjuangkan kepentingan masyarakat secara umum dengan asumsi bahwa di dalam kepentingan masyarakat tersebut sudah tercakup kepentingan perempuan di dalamnya.

Ida Fatimah mempunyai alasan mengapa dalam rapat-rapat dewan tidak pernah berbicara secara khusus tentang kepentingan perempuan. Perbincangan khusus mengenai kepentingan perempuan menurut Ida akan mendapatkan reaksi yang keras dan bernada menyindir dari para anggota laki-laki. Oleh karenanya, ia memilih untuk tidak secara eksplisit berbicara tentang kepentingan perempuan (wawancara dengan Ida Fatimah, 16 Agustus 2007).

Kesengajaan untuk tidak berbicara secara khusus tentang kepentingan perempuan sebagaimana dilakukan oleh Ida Fatimah merupakan fenomena umum yang juga dilakukan oleh semua anggota legislatif perempuan, termasuk Esti Wijayati. Ia sengaja melakukan strategi memperjuangkan kepentingan perempuan dengan cara berbicara atas nama kepentingan masyarakat banyak.

Forum lain yang menjadi tempat untuk membahas agenda kepentingan perempuan adalah Rapat Panitia Anggaran. Di forum ini, para anggota legislatif perempuan senantiasa memperjuangkan agar Kantor Pemberdayaan Perempuan (KPP) mendapatkan porsi anggaran yang besar untuk melaksanakan program-program pemberdayaan perempuan. Mereka juga mendesak agar semua dinas menyediakan anggaran untuk program perempuan.

Dukungan para anggota legislatif perempuan kepada KPP tidaklah sia-sia. Hal itu tercermin dari jumlah anggaran untuk KPP yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2004 hingga 2007 sebagaimana dapat disimak pada Tabel 3.

Tabel 3

Anggaran Kantor Pemberdayaan Perempuan DIY



Tahun Jumlah (Rp)

2004 694.660.000

2005 1.808.148.200

2006 2.476.265.000

2007 3.441.048.850

Sumber: Diolah dari Laporan Rapat Panitia Anggaran

DPRD Provinsi DIY Tahun 2004-2007



Peningkatan perhatian anggota dewan pada kepentingan perempuan juga tercermin dalam arah dan kebijakan umum APBD DIY. Sejak tahun 2005, dalam Arah dan Kebijakan Umum APBD DIY selalu disebutkan bahwa salah satu sasaran pembangunan di bidang sosial adalah adanya peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat melalui peningkatan kesadaran tentang keadilan gender melalui pemerataan, kesejahteraan, akses (informasi, posisi, sumber daya), tingkat penyadaran, tingkat partisipasi aktif dan tingkat kontrol terhadap kasus kekerasan yang menimpa perempuan, penanganan kasus kekerasan dan peningkatan peran organisasi perempuan. Berkat perhatian pada isu kekerasan terhadap perempuan ini, pada tahun 2005 terjadi peningkatan kesadaran untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 40% dari 335 kasus menjadi 469 kasus. Penanganan kasus kekerasan juga meningkat sebesar 40%. Demikian pula peran organisasi perempuan dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 15 organisasi menjadi 30 organisasi perempuan (Himpunan Perda DIY, 2005: 38).



Respon Anggota Legislatif Laki-Laki terhadap Isu Perempuan

Perjuangan anggota legislatif perempuan agar kepentingan perempuan di segala bidang diperhatikan oleh para anggota dewan bukanlah tanpa rintangan. Suara-suara bernada tidak senang dari anggota legislatif laki-laki sering terdengar manakala anggota legislatif perempuan mengajukan usul yang menyangkut kepentingaan perempuan.

Isti’anah menyatakan ia sering menerima keluhan dari KPP bahwa beberapa anggota legislatif laki-laki bersikap tidak bersahabat. Pada waktu KPP mempresentasikan program-programnya, para anggota legislatif laki-laki yang tidak setuju dengan program khusus untuk perempuan senantiasa mengejar dengan berbagai pertanyaan sehingga KPP kewalahan atau bahkan tidak mampu lagi menjawab dengan memuaskan. Isti’anah mensinyalir sikap sebagian anggota legislatif laki-laki mencecar pertanyaan semacam itu merupakan upaya untuk membatalkan anggaran program-program perempuan:

Untuk menghadapi suara-suara dan sikap bernada ketidaksukaan dari sebagian anggota legislatif laki-laki yang menolak anggaran khusus bagi program-program perempuan, para anggota legislatif perempuan mengambil strategi penguatan diri dengan bersikap kompak, bersatu, dan mendukung satu sama lain. Upaya penggalangan dukungan bahkan tidak saja berasal dari sesama anggota perempuan, tetapi juga anggota laki-laki yang peduli pada persoalan perempuan. Tutiek Masria mengemukakan bahwa sebelum rapat Panitia Anggaran dimulai anggota perempuan yang ingin menyampaikan pendapat selalu meminta dukungan dari para anggota laki-laki yang bersimpati pada gerakan perempuan. “Sebelumnya (sebelum rapat Panitia Anggaran) biasanya (mengatakan) nanti aku didukung yo? Nggak pada perempuan saja tapi juga yang laki-laki. Pak nanti dukung ya kalau aku usul. Kalau seperti itu biasanya ya didukung “ (Wawancara dengan Tutiek Masria, 16 Agustus 2007).

Anggota legislatif perempuan menyadari bahwa penggalangan dukungan dari sesama anggota perempuan dan sebagian anggota laki-laki merupakan kebutuhan mutlak yang harus dilakukan mengingat jumlah perempuan teramat sedikit dibandingkan jumlah laki-laki. Selama jumlah perempuan di lembaga legislatif masih sangat kecil, maka upaya untuk memperjuangkan kepentingan perempuan tetap masih akan menemui hambatan. Isti’anah menuturkan:



Selama ini kita sudah berusaha maksimal. Tetapi kendalanya yang kita hadapi jumlah perempuan sedikit. Ini pun yang punya power prosentasenya rendah. Ada 6 anggota. Dari 6 ini yang masuk panitia anggaran 5 (orang), sehingga di dalam memperjuangkan isu-isu perempuan kita kalah suara dari segi kuantitas. Dari segi kualitas ini dari 6 yang punya power cukup besar juga tidak banyak, mungkin hanya 50% (Wawancara dengan Isti’anah, Agustus 2007).



Persoalan kualitas personal anggota legislatif perempuan dalam menyampaikan usulan menjadi faktor penting yang menentukan apakah anggota laki-laki akan mendukung usulan anggota perempuan atau tidak. Ida Fatimah mengemukakan bahwa respon anggota laki-laki terhadap usulan yang disampaikan anggota perempuan sangat tergantung pada kualitas bagaimana anggota perempuan menyampaikan argumen (Wawancara dengan Ida Fatimah, 16 Agustus 2007).

Saat ini, perlahan-lahan isu perempuan mulai mendapatkan perhatian dari anggota legislatif. Hal itu dibuktikan dengan persetujuan anggaran untuk Kantor Pemberdayaan Perempuan yang mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (lihat Tabel 3), termasuk anggaran untuk program-program pendampingan yang berkaitan dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Terlebih lagi, pada tahun 2007 semakin banyak anggota legislatif laki-laki memahami kepentingan perempuan.

Isti’anah membenarkan bahwa saat ini semakin banyak anggota legislatif laki-laki yang peduli pada kepentingan perempuan. Beberapa anggota laki-laki yang dulu selalu menolak usulan untuk program khusus perempuan kini mulai berubah sikap. Bahkan kini mulai banyak anggota laki-laki yang di dalam forum menyampaikan dukungan bagi persoalan-persoalan perempuan (Wawancara dengan Isti’anah, 28 Agustus 2007).

Salah satu bentuk dukungan tersebut berupa ide perlunya peraturan daerah (Perda) yang secara khusus mengatur kepentingan perempuan. Salah seorang anggota DPRD bernama Nur Ahmad Affandi mengemukakan bahwa hingga kini belum ada peraturan daerah (Perda) yang khusus mengakomodasi dan mengatur kepentingan perempuan. Menurut Nur Ahmad Afandi, hal itu merupakan satu kelemahan. Ia menilai kedudukan perempuan dalam ekonomi dan politik sangat strategis, sehingga diperlukan suatu skema pelayanan khusus bagi perempuan, seperti kemudahan pendidikan, kemudahan mengakses modal dan teknologi. Menurut Nur, semua itu semestinya dapat diatur dengan Perda sesuai dengan kewenangan daerah.

Pendapat senada dikemukakan Afnan Hadikusumo. Menurutnya, regulasi tentang pengarusutamaan gender di provinsi DIY lebih penting dibandingkan persoalan peningkatan anggaran untuk program-program perempuan. Regulasi tersebut sangat penting untuk mengatur hak, kewajiban, dan kepentingan-kepentingan antara masyarakat, terutama kaum perempuan dengan pemerintah. Saat ini, anggota dewan, terutama perempuan, masih kesulitan dalam mengadvokasi persoalan-persoalan diskriminasi gender, mengingat di DIY belum ada regulasi yang mengatur hal itu. Menurut Afnan, sudah waktunya diterbitkan peraturan daerah tentang pengarusutamaan gender yang penyusunannya melibatkan pemerintah, anggota dewan, LSM, praktisi hukum, perguruan tinggi, dan media massa.

Pendapat Nur Ahmad Affandi dan Afnan Hadikusumo tentang perlunya Perda yang dapat mengakomodir kepentingan perempuan menunjukkan adanya perhatian anggota legislatif laki-laki terhadap persolan perempuan. Isti’anah dan Ida Fatimah mengakui bahwa Nur Ahmad dan Afnan sangat berpihak kepada perempuan dan memiliki kepedulian yang besar pada upaya pemberdayaan perempuan.[2] Pernyataan Nur Ahmad dan Afnan merupakan bukti kekritisan mereka dalam melihat persoalan perempuan, sebuah pandangan yang semestinya disampaikan oleh anggota legislatif perempuan, tetapi justru dikemukakan oleh laki-laki.

Namun demikian, anggota legislatif laki-laki yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan juga masih ditemui. Setiap kali Panitia Anggaran melakukan rapat penyusunan anggaran untuk KPP, mereka selalu mencecar dengan berbagai pertanyaan yang tujuannya agar program yang dipresentasikan KPP batal dilakukan (Wawancara dengan Isti’anah, 28 Agustus 2007 ).





Akses dan Kerjasama dengan Media Massa dan Organisasi Perempuan

Media massa merupakan salah satu sarana bagi anggota legislatif perempuan untuk menggalang kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Melalui media massa, anggota legislatif dapat berwacana untuk membentuk opini publik.

Beberapa anggota dewan yang peduli pada persoalan perempuan dikenal sangat akrab dengan media massa. Mereka antara lain adalah Isti’anah, Esti Wijayati, Nur Achmad Affandi dan Afnan Hadikusumo. Mereka sering ditemui oleh media massa untuk diminta komentar dan pendapat mengenai isu perempuan. Media massa biasanya memanfaatkan peristiwa-peristiwa tertentu yang berkaitan dengan persoalan perempuan ketika melakukan peliputan dan wawancara. Momentum yang biasanya dimanfaatkan media massa untuk melakukan peliputan dan wawancara adalah Hari Perempuan, Hari Ibu, Hari Kartini, saat ada audiensi di DPRD yang membawa persoalan-persoalan perempuan, saat komisi terkait terjun ke lapangan kemudian menemukan kasus, atau pada saat penyusunan anggaran untuk dinas-dinas pemerintah.

Sebagai anggota legislatif perempuan, Isti’anah dengan sadar memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk mengkritik Pemerintah DIY yang dinilainya tidak serius menangani persoalan gender. Dalam komentar di sebuah surat kabar, Isti’anah menyesalkan tidak adanya progress report dalam LKPJ Gubernur DIY tahun 2007 (http://www.bapeda.pemda-diy.go.id Diakses tanggal 4 Agustus 2007). Padahal, DPRD telah menyepakati bahwa bidang pemberdayaan perempuan, peningkatan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan gender menjadi salah satu skala prioritas yang telah ditetapkan dan dianggarkan pada tahun 2006. Dalam strategi dan prioritas belanja juga ditekankan program pemberdayaan perempuan, serta peningkatan peran masyarakat dan kemampuan kelembagaan pengarusutamaan gender. Tidak adanya laporan, penjelasan, maupun permasalahan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan, menunjukkan ketidakpedulian Pemerintah DIY terhadap upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Isti’anah, hal ini akan mempersulit perumusan program dan kegiatan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan.

Sementara itu, anggota DPRD yang lain belum memanfaatkan media massa untuk menekan anggota-anggota legislatif agar memperhatikan kepentingan perempuan. Alasannya beragam, mulai dari ketidakmampuan, takut berlebihan, hingga takut dinilai tidak ikhlas berjuang. Esti Wijayati bahkan meragukan peran dan kemauan media massa untuk dijadikan wahana yang efektif dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Hal itu berkait dengan preferensi media massa dalam memilih isu-isu dan berita-berita yang laku untuk dijual, sementara isu perempuan bukan termasuk isu yang memiliki nilai jual tinggi (Wawancara dengan Esti Wijayanti, 18 Agustus 2007).

Selain dengan kalangan media massa, anggota legislatif perempuan juga membuka diri dan bekerjasama dengan masyarakat, terutama organisasi perempuan. Meskipun demikian, jalinan kerjasama tersebut tidak terstruktur. Kerjasama antara anggota legislatif perempuan dengan organisasi perempuan berlangsung dalam bentuk kerjasama tidak langsung, yaitu melalui KPP. Isti’anah menjelaskan bahwa organisasi-organisasi perempuan sering menitipkan isu perempuan untuk diperjuangkan melalui KPP. Selanjutnya, KPP akan menghimpun usulan-usulan dan menindaklanjutinya dengan penyusunan program-program dan anggaran untuk program perempuan yang selanjutnya dibawa ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan. Selain itu, kerjasama dengan para aktivis organisasi perempuan juga dilakukan melalui forum public hearing (dengar pendapat), sebuah forum sidang DPRD yang terbuka untuk umum dan bertujuan menjaring pendapat dari berbagai elemen masyarakat.

Kerjasama yang dilakukan anggota legilatif perempuan dengan para aktivis dari organisasi perempuan merupakan bentuk keterbukaan diri dari para anggota perempuan. Kerjasama ini juga menunjukkan arti penting organisasi perempuan di mata anggota perempuan.



Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan setidaknya empat hal. Pertama, peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di DPRD DIY belum sepenuhnya diikuti oleh terpenuhinya kepentingan perempuan. Kebijakan yang dihasilkan DPRD baru sebatas pada persetujuan kenaikan anggaran untuk Kantor Pemberdayaan Perempuan dari tahun ke tahun dan tuntutan agar seluruh dinas pemerintah memperhatikan pembangunan untuk kelompok perempuan. Produk kebijakan terpenting, yaitu Perda khusus untuk melindungi dan mengakomodir kepentingan perempuan sama sekali belum ada. Selain itu, mayoritas anggota legislatif perempuan tidak menempati posisi strategis sebagai pemimpin. Di antara 6 anggota perempuan, hanya 2 orang yang memegang jabatan sebagai pemimpin.

Kedua, kepentingan perempuan belum diperjuangkan secara maksimal oleh anggota legislatif perempuan di DPRD DIY. Hal ini terlihat dari sikap anggota perempuan yang cenderung menunggu masukan dan keluhan dari para konstituen perempuan dibandingkan menawarkan ide yang dapat dilakukan untuk memenuhi kepentingan perempuan. Sikap itu menunjukkan kekurangpahaman sebagian besar perempuan anggota DPRD Provinsi DIY terhadap masalah-masalah strategis yang dihadapi perempuan dikaitkan dengan tugasnya sebagai anggota legislatif. Seandainya para perempuan anggota DPRD Provinsi DIY memiliki pemahaman yang cukup, maka pertemuan dengan konstituen dapat digunakan untuk mengonfirmasikan strategi dan konsep mereka dalam memperjuangkan perempuan. Para anggota DPRD itulah yang mestinya menyusun konsep untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, dan bukan sekadar bertanya untuk menjaring ide.

Ketiga, media massa dan organisasi perempuan belum digunakan oleh anggota legislatif perempuan sebagai alat penekan dan sarana untuk mencari dukungan. Kerjasama dengan media massa lebih banyak dilakukan oleh anggota laki-laki dengan mengekspos isu perempuan di media massa. Sementara itu kerjasama dengan organisasi-organisasi perempuan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai wahana untuk menghimpun dukungan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.

Keempat, dari gagasan dan langkah yang mereka tempuh dapat dinyatakan bahwa perempuan anggota DPRD Provinsi DIY bukan tergolong feminis “garis keras”. Mereka tergolong moderat atau bahkan cenderung kurang kuat dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Hal itu bisa disebabkan oleh kurangnya kapasitas personal, bisa juga karena ketakutan mereka terhadap dominasi partai dan dominasi laki-laki.



Daftar Pustaka



Belum Ada Perda Khusus yang Akomodasi Perempuan (2007) [Diakses 1 Juni 2007].http://www.indomedia.com/bernas/052002/21/UTAMA/21met2.hm.

DPRD DIY (2007) Laporan Rapat Panitia Anggaran Tahun 2004-2007.

DPRD DIY (2005) Himpunan Peraturan Daerah DIY Tahun 2005.

“DPRD DIY Kecewa dengan Isi LKPJ, Pemberdayaan Wanita Tak Ada Progress Report” dalam http://www.bapeda.pemda-diy.go.id Diakses tanggal 4 Agustus 2007.

Lovenduski, J., Karam, A. (2002) Perempuan di Parlemen: Membuat suatu Perbedaan. Dalam: J. BALLINGTON, S. KADIRGAMAR-RAJASINGHAM (eds). Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah (Terjemahan oleh Akmal Syams), Stockholm: International IDEA.

Molyneux, M. (1986) Mobilization without Emacipation? Women’s Interest, State and Revolution. Dalam: RR. FAGEN, C.D. DEERE, J.L. CORAGGIO (eds.). Transition and Development: Problems of Third World Socialism, New York: New York Monthly Review Press.

Peranan Dewan pada Pengarusutamaan Gender di Provinsi DIY (2007) [Diakses 4 Agustus 2007]. http://www.dprd-diy.go.id.

Profil Anggota (2007) [Diakses 1 Juni 2007 ] http://www.dprd-diy.go.id .

Soetjipto, A.W. (2005) Minoritas ‘Bisu’ di Parlemen: Perempuan Parlemen di Indonesia. Dalam: A.W. Soetjipto. Politik Perempuan bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.



[1] Korespondensi: M. A. Dewi, Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Jl. Babarsari 2 Yogyakarta. Telp: (0274) 487147. E-mail: machdewi@yahoo.com.

[2] Isti’anah mengemukakan hal ini dalam wawancara tanggal 28 Agustus 2007 dan Ida Fatimah pada tanggal 16 Agustus 2007.


sumber : http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65:implikasi-peningkatan-keterwakilan-perempuan-bagi-pemenuhan-kepentingan-perempuan-studi-pada-dprd-provinsi-diy&catid=34:mkp&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar